Perkenalan Saya dengan Animisme Baru

10/09/2013 at 16:22 (artikel)

Di kota kelahiran saya, Ambarawa, ada sebuah dukuh (dusun) namanya Kerep. Dari dukuh Sumber, kampung halaman saya, jaraknya hanya sekitar 2 kilometer. Di dukuh Kerep ini ada sebuah bangunan peninggalan Belanda yang dijadikan biara untuk para bruder Apostolic. Bangunan utama di komplek ini menghadap ke arah selatan. Karena letak dukuh Kerep ini di lereng bukit, dari bangunan ini kita dapat melihat hamparan sawah serta jalan yang membelah hamparan sawah itu. Jauh di bawah sana, tampak kota Ambarawa, Rawa Pening dan Gunung Telomoyo.

Namun yang paling penting di sisi timur komplek ini ada sebuah Gua Maria. Yang disebut Gua Maria ini sebenarnya sebuah tumpukan batu-batu kali yang direkatkan dengan semen hingga membentuk sebuah cekungan. Di cekungan itulah ditaruh patung Maria (ibu Yesus) yang terbuat dari gips dan dicat. Di situ juga ada altar, hamparan  rumput, pohon-pohon alamanda, bugenvil, puring, dan bunga-bunga semusim. Persis di ujung timur ada sebuah jurang menganga sedalam 30 meteran. Di bawah sana mengalir Kali Panjang yang airnya keruh dan penuh dengan batu-batu besar. Di seberang jurang ada hamparan sawah dan jalan raya menuju Bandungan.

Di tempat ini, di tahun 1950-an, sore-sore, seminggu dua kali saya datang untuk mengikuti pelajaran agama dan berdoa di depan patung Maria itu. Daya tarik utama tempat ini adalah bahwa para bruder itu selalu menyediakan sirup, permen, biskuit, dan buah-buahan, terutama jeruk. Halaman tengah komplek itu memang penuh pohon jeruk keprok. Selain karena faktor makanan dan minuman, yang juga menjadi daya tarik tempat ini adalah pemandangan alamnya yang indah dan suasananya yang sejuk dan sepi.

Pada hari Minggu atau hari libur, tempat ini tambah ramai dikunjungi orang-orang yang ingin berdoa rosario. Pada waktu itu, saya tidak melihat ada keanehan dari perilaku “berdoa di depan patung” seperti ini. Semua saya terima secara wajar dengan penuh kesenangan. Datang ke Kerep adalah sesuatu yang menyenangkan. Waktu itu, terus terang saya tidak begitu peduli dengan figur Maria. Seandainya yang dipasang di sana patung lain, saya tetap akan mengunjunginya.

Ternyata kemudian, kekeramatan Gua Kerep ini belumlah seberapa dibanding dengan Gua Maria Sendangsono di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Di Gua Sendangsono ini, ada sebuah mata air di bawah pohon sono yang cukup besar. Di tempat inilah ceritanya, dulu untuk pertama kalinya orang Jawa dibaptis dan masuk agama Katolik. Dibanding dengan Gua Kerep, Sendangsono jauh lebih terkenal. Tempatnya juga tampak lebih angker, pengunjungnya juga jauh lebih banyak, lebih-lebih di bulan Mei di hari Minggu.

Gua-gua Maria semacam ini ternyata juga ada di Malang, Cirebon (Kuningan), dan Lampung. Kesemuanya ternyata merupakan imitasi dari Gua Maria Lourdes di Eropa sana. Dalam hati kemudian saya bertanya-tanya, apa bedanya paham animisme dengan model ritual semacam ini? Ketika untuk pertama kali datang ke Sendangsono, saya lihat banyak iring-iringan manusia yang ingin mendatangi gua itu. Di sana, di bawah pohon besar itu, mereka menyalakan lilin dan berdoa. Sepertinya ini kok sekadar mengganti figur yang dipuja.

Di kampung saya, yang dipuja adalah Mbah Derpo. Patungnya tidak ada. Ritualnya cuma setahun sekali dengan cara selamatan. Ini pasti peninggalan animisme purba. Kemudian ketika agama Hindu masuk, roh-roh lokal ini diganti dengan dewa-dewa impor dari India. Ada Wisnu yang naik garuda, ada Syiwa yang berdiri di atas sapi dan lain-lain. Ketika Budha masuk, dewa-dewa Hindu ini diganti dengan patung Budha. Kemudian, Islam masuk. Karena Islam tidak membenarkan penyembahan patung, maka yang dikeramatkan kemudian adalah makam tokoh-tokohnya, terutama para wali dan para kiai. Ketika Katolik datang, “budaya animisme” ini hidup lagi dan berkembang.

Bagi masyarakat Jawa, animisme yang sudah berusia ribuan tahun ini sulit untuk dihapus begitu saja. Gua Maria di Sendangsono adalah sebuah budaya gado-gado yang menarik. Di sebuah pedalaman Jawa Tengah, di bawah pohon sono, ada sebuah patung gips buatan Eropa dengan profil dan sosok wanita Eropa, namun digunakan untuk menggambarkan wanita Israel yang hidup miskin kurang lebih 2000 tahun silam. Bagi masyarakat Katolik di Jawa, hal seperti ini dianggap wajar. Tidak ada yang aneh karena memang sudah seharusnya begitu.

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat modern tidak puas dengan ritual keagamaan formal yang diselenggarakan secara rutin di rumah-rumah ibadah. Dugaan saya, ada sesuatu yang sebenarnya masih dibutuhkan manusia namun tidak dapat ditemukan lagi dalam ibadah keagamaan modern yang bersifat formal. Saya sendiri memang mulai merasakan “keringnya” ibadah misa di gereja terutama setalah mengalami banyak sekali perubahan sesudah Konsili Vatikan II. Dugaan saya, yang sebenarnya masih dirindukan oleh umat beragama adalah “kesakralan ritual”, suasana alam (gunung, batu, mata air, pohon besar, dan lain-lain), serta figur yang bisa “dikeramatkan”.

Sesuatu yang “hilang” ini rupanya telah ditemukan kembali dalam bentuk “Gua Maria”. Karena, lokasi gua yang memang masih bersuasana alami, upacara penyalaan lilin, pengambilan air, doa rosario, dan lain-lain itu dianggap lebih “sakral” dibanding ibadah formal yang sudah rutin. Di sini juga ada figur keramat. Maria, dalam hal ini, lalu menjadi figur “mistis” dengan berbagai penampakan, penyembuhan, dan mukjizat lainnya.

Tampaknya, Gereja Katolik mentolerir kecenderungan devosi semacam ini, meskipun juga tidak menjadikannya sesuatu yang formal. Ini berbeda dengan Islam yang nyata-nyata tidak membenarkan kecenderungan semacam ini. Jangankan sampai menyembah, mematungkan atau melukis orang pun sudah dilarang. Namun Islam di Jawa, terutama di pedalaman yang masyarakatnya agraris, tetap tidak mengindahkan larangan praktek ritual semacam ini. Mereka tetap datang dan berziarah ke makam-makam dan peninggalan kuno.

Kegiatan ziarah ke Gua Maria, sebenarnya lebih positif dibandingkan dengan kegiatan “animisme baru” yang lepas dari unsur keagamaan. Salah satu kebutuhan manusia yang dulu diberikan oleh ritual keagamaan adalah “kedekatan dengan alam”. Istilahnya sekarang mungkin “unsur wisata”. Di Bali misalnya, kegiatan ritual keagamaan formal di pura masih sangat terasa unsur wisatanya. Bahkan Pura Besakih, Uluwatu, Tanah Lot, dan lain-lain berkembang menjadi objek wisata umum. Letak pura tadi memang di tempat yang indah. Di lereng gunung, di batu karang di pinggir telaga, dan lain-lain yang memang sangat indah. Selain itu, ritual Hindu tadi masih sarat dengan unsur seni, baik seni rupa, seni sastra (doa-doanya) maupun seni drama. Bentuk pura itu sendiri memang sangat artistik.

Semua itu tidak dapat ditemukan lagi pada ritual keagamaan modern, terutama di kota-kota besar. Letak gereja ada di tengah pemukiman yang sumpek. Bangunannya juga lebih mengutamakan manfaat daripada unsur artistiknya. Karenanya, orang pun lalu memerlukan rekreasi. Mereka perlu pergi ke pantai, ke gunung, ke bangunan-bangunan kuno. Kalau hari libur atau akhir pekan tiba, mulailah orang berbondong-bondong ke tempat wisata itu. Namun sesampai di sana, kerumunan massa itu menjadi tampak kebingunan dan tak tahu lagi harus berbuat apa.

Di suatu hari libur, di Pantai Parang Tritis misalnya, kita akan menyaksikan lautan manusia yang menyemut namun tampak seperti kebingungan. Ada yang jalan-jalan. Ada yang duduk-duduk, ngobrol atau bengong, ada yang berlarian, dan lain-lain. Meskipun mereka bergembira, pandangan mata mereka tampak kosong. Tak ada yang mengorganisir atau memimpin puluhan ribu orang itu. Kalaupun ada teriakan dan pengeras suara, itu hanyalah pengumuman tentang anak hilang atau ada ajakan dari ketua rombongan untuk kumpul di mobil. Suasana “katarsis” yang diharapkan diperoleh dari tempat-tempat semacam ini tidak pernah didapatkan.

Hilangnya suasana “katarsis” dari kunjungan ke tempat-tempat wisata “massal” tadi, selain karena tiadanya “atraksi” yang terkoordinasi, juga karena pengelolaannya yang sudah semakin mementingkan segi-segi komersial. Retribusi pemda, tiket masuk, parkir, kencing, semua harus bayar. Kadang-kadang pemungutannya dengan setengah memaksa dan kasar. Tak jarang para wisatawan ini juga diperas. Misalnya, yang pernah terjadi di kawasan Trunyan di Danau Batur, Bali.

Suasana “katarsis” ini sedikit banyak masih bisa diperoleh dari lokasi-lokasi wisata alam yang sulit untuk dijangkau secara massal. Misalnya, pulau yang terpencil, puncak gunung, gua alam yang curam, dan lain-lain. Di tempat-tempat semacam ini, meskipun tidak dilakukan ritual keagamaan, meskipun tidak ada figur mistis yang dipuja, pengunjung tetap masih bisa memperoleh suasana “katarsis” yang diharapkan. Meskipun suasana itu pasti jauh berbeda dengan yang didapat kalau orang Katolik berkunjung ke Lourdes atau umat Islam menunaikan Ibadah Haji. Suasana katarsis dari sebuah puncak gunung mungkin disebabkan oleh rasa capek sewaktu mendaki, mungkin akibat udara dingin, oksigen yang tipis, dan pemandangan ke bawah yang “eksotis”.  Sebaliknya, suasana katarsis dari sebuah gua alam mungkin akibat kegelapan dan kesunyian yang total, dalam udara pengap dan sosok stalaktit serta stalakmit yang  mempesona.

Di Indonesia, roh animisme purba itu masih bergentayangan dan hidup. Rakyat pun masih memerlukannya. Sesuatu yang ironis pun telah terjadi. Animisme purba itu tak direstui oleh pemerintah maupun agama-agama resmi. Namun di lain pihak, animisme baru muncul.

Gua Maria dibuat dimana-mana. Dalilnya memang masuk akal. Figur Maria itu hanyalah alat untuk meraih Tuhan, untuk memohon sesuatu, untuk mengadukan nasib. Dengan perantaraan “perawan suci” itu, diharapkan segala permohonan akan lekas terkabul. Tuhan, terutama Allah Putra itu, pasti enggan untuk menolak permohonan manusia yang disampaikan oleh ibu-Nya. Sudah demikian berbelitkah birokrasi surga, sampai-sampai sebuah doa, sebuah permintaan harus disampaikan lewat perantara?

Animisme baru memang sungguh ironis. Di satu pihak, memuja roh nenek moyang tidak diperkenankan. Namun, rakyat diperbolehkan memuja tokoh yang secaa geografis, secara etnis, maupun dalam skala waktu sungguh sangat jauh jaraknya. Lebih-lebih sosok Maria yang dilukiskan oleh patung-patung di gua itu adalah rekayasa budaya Eropa abad Renaisans. Kalau mau jujur, wajah Maria yang autentik adalah wajah wanita-wanita Palestina yang hidup di perkampungan kumuh yang sering dijadikan sasaran bidikan kamera TV itu. Maria hanyalah istri tukang kayu yang miskin di sebuah desa kecil bernama Nazaret.

Saya pribadi, jelas lebih dekat dan lebih mudah membayangkan almarhum nenek saya daripada membayangkan Maria. Namun, itulah animisme baru. Sesuatu yang direstui oleh pemerintah maupun Gereja Katolik, mungkin sekadar untuk dijadikan katup pelepas dari desakan kerinduan umat terhadap animisme purba, yang telah tergusur itu. Maria, bagi saya memang tetap sosok wanita yang mengagumkan. Dia hamil tanpa suami. Dia menikah dengan Yusuf, seorang tukang kayu yang sudah uzur. Ketika kehamilannya sudah tua, dia terpaksa berjalan dari Nazaret ke Betlehem. Dia harus memenuhi titah Kaisar Agustus, penguasa Roma, yang memerintahkan sebuah sensus penduduk di negeri jajahannya. Di Betlehem dia dan suaminya tak lagi mendapatkan penginapan. Dia pun melahirkan di sebuah gua tempat penampungan ternak yang kotor, dingin, dan gelap.

Anak tunggal gantungan hidupnya itu akhirnya, pada umur 33 tahun dibunuh, digantung di kayu salib persis di depan hidungnya. Dalam Injil tak disebutkan Maria menangis. Betapa mengagumkan ketegaran wanita miskin yan dirundung malang itu. Semua itu memang dapat membuat pikiran siapa pun terpesona, kagum, dan takjub. Akan tetapi, itu semua tak dapat menjadi pembenaran untuk lalu meminta-minta padanya. Lebih-lebih setelah sosok Maria itu diberi gincu, dipoles, dicantik-cantikkan dan diberi gaun warna-warni yang anggun model abad pertengahan Eropa. Saya melihat itu semua sebagai imitasi. Maria yang sebenarnya adalah kesederhanaan wanita miskin dari negara jajahan. Dia tabah, dia tegar, dia pantang untuk meminta-minta. Saya sungguh tidak habis mengerti, mengapa figur ini dipilih untuk dipajang dalam gua. ***

Sumber : Buku Menggugat Tuhan

 

2 Komentar

  1. andy said,

    Yang menjadi pertanyaan besar saya..sebenarnya apakah memang ada d perbolehkan d injil untuk meminta kepada Bunda Maria? Melalui Rosario, novena , etc..d mana?

    • F. Rahardi said,

      Injil berisi ajaran dan riwayat hidup Yesus. Tak ada kaitannya dengan Devosi Kepada Maria. Meski tak ada di Injil, Gereja Katolik juga tak pernah malarang orang untuk berdevosi.

Tinggalkan komentar