UPETI UNTUK KAPITALISME GLOBAL

01/02/2016 at 16:45 (cerpen)

Ulasan Cerpen “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”

Oleh F. Rahardi

Cerita pendek Ahmad Tohari berjudul “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” dimuat di Harian Kompas, 13 September 2015. Ini merupakan cerita pendek bergaya realis, yang semakin langka dianut oleh para penulis cerita pendek kita. Para penulis cerita pendek zaman ini, lebih senang menulis dengan gaya surealis dan absurd.

Cerita pendek Ahmad Tohari ini berkisah tentang kereta api yang berhenti menjelang Stasiun Senen, Jakarta Pusat, lalu subyek cerita berpindah dari dalam kereta api ke pemandangan keluarga tuna wisma di pinggir rel. Diceritakan seorang bapak membeli mi instan, Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

“ANAK INI MAU MENGENCINGI JAKARTA?”

01/02/2016 at 16:39 (cerpen)

Cerpen Ahmad Tohari

Tentu tidak ada penumpang yang setuju kereta api malam dari timur itu berhenti sesaat menjelang stasiun Pasar Senen. Tapi nyatanya kereta api itu benar-benar berhenti. Entah ada apa di depan sana. Penumpang yang sudah bangun banyak yang mengeluh. Tiga laki-laki secara bersamaan melihat jam tangan mereka dengan wajah kecut. Masinis di ruang kemudi dan dua kondektur di gerbong paling depan  mendesah kesal. Di mata mereka sudah kelihatan kopi Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Pertunjukan

25/01/2016 at 12:49 (cerpen)

Cerpen F. Rahardi (Kompas, 25 Maret 2012)

KAMU mengatakan bahwa yang saya persembahkan ini sebuah pertunjukan. Aku tidak setuju, sebab yang kusampaikan ke masyarakat hanyalah gangguan kuping. Aku berharap syaraf-syaraf kuping mereka tersiksa dengan hebatnya, lalu pada menit-menit bahkan detik-detik terakhir mereka akan aku siram dengan gerimis yang sejuk.

Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Amin

20/01/2016 at 13:50 (cerpen)

Cerpen F Rahardi (Kompas, 20 Januari 2013)

LAKI-LAKI itu berusia setengah baya, berperawakan biasa, berkulit biasa, berwajah biasa, berambut biasa, berbaju dan bercelana biasa, mengenakan sepatu yang juga biasa-biasa saja. Barangkali di kantong baju dan celananya juga tersimpan benda-benda biasa seperti dompet, sisir, ballpen, dan dalam dompet itu ia taruh uang, kartu identitas, dan lain-lain.

Laki-laki itu duduk bersila dengan takzim. Dua tangannya ia sedekapkan ke dada, dan pandang matanya mengarah lurus ke depan. Dia diam saja, hanya kalau ada orang lewat di depannya ia akan berkata: “Amin”. Orang-orang menengoknya sebentar lalu berlalu. Satu dua orang segera menjatuhkan uang logam lima Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

SIDANG PARA KAMPRET

31/08/2015 at 11:12 (cerpen)

Lokasi        : Sebuah gua di gunung kapur di kawasan Citeureup, West Java, Indonesia
Waktu        : Awal tahun 1993, tengah hari bolong
Peserta      : Seluruh warga kampret jantan, betina, remaja, bayi, beberapa ekor tikus, beberapa ekor walet + 100 ekor kecoak sebagai peninjau.
Keperluan    : Membahas tindaklanjut dampak pengambilan batu-batu kapur oleh pabrik semen terhadap eksistensi gua-gua Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Analisis Cerpen Sastra Samanasanta karya F Rahardi

18/06/2015 at 12:49 (cerpen)

Jumat, 21 November 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Cerpen (cerita pendek) merupakan salah satu karya sastra yang tergolong dalam prosa. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan dengan karya-karya sastra lain yang lebih panjang. Hal inilah yang menjadikan cerpen banyak digemari oleh para pembaca. Selain itu, daya tarik sebuah cerpen terletak pada tema ceritanya yang beragam.
Dengan demikian, para pembaca dihadapkan pada situasi dimana mereka dapat melihat dan merasakan gambaran dari kehidupan manusia dari setiap unsur intrinsik maupun ekstrinsik yang ditonjolkan oleh pengarang.

Berdasarkan hal inilah, tim penulis membuat karya tulis ini agar dapat memberikan informasi mengenai unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik cerpen khususnya dalam cerpen berjudul Samanasanta karya F Rahardi yang kami kaji.

1.2  Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa saja unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen sastra?
2.      Apa saja unsur ekstrinsik yang tedapat dalam cerpen sastra?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan disusunnya karya tulis ini adalah :
1.      Memenuhi tugas Bahasa Indonesia.
2.      Mengetahui unsur intrinsik cerpen sastra.
3.      Mengetahui unsur ekstrinsik cerpen sastra.

1.4  Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, kami mempergunakan teknik analisis data berdasarkan data kualitatif.

1.5  Sumber Data
Untuk memperoleh data tersebut, kami mempergunakan sebuah cerpen sastra yang diambil dari surat kabar Kompas edisi 15 Juli 2007.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik cerpen adalah unsur yang terdapat dalam cerpen itu sendiri. Unsur intrinsik cerpen meliputi :

2.1.1  Tema
Tema adalah gagasan atau pokok masalah yang menjadi struktur isi cerita.
Dan dalam cerpen sastra Samanasanta ini, tema yang terlihat sangat menonjol adalah mengenai keagamaan, keyakinan atau kepercayaan.
Gambaran ini terletak pada kutipan cerpen berikut:
“Lalu berkali-kali kamu bertanya aku punya apa sekarang? Aku bilang tidak punya apa-apa lagi. Kamu lalu bertanya lagi, bukankah aku ini komunis? Aku bilang dari kecil aku ini Katolik. Kalau begitu masih punya Katolik kan, tanyamu, di pesawat yang menderu-deru di atas pulau-pulau yang jauh di bawah sana. Tanya apa kamu Maria?”

2.1.2  Alur
Alur (plot) disebut juga dengan jalan cerita, atau rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita.
Alur yang terlihat dalam cerpen sastra Samanasanta ini adalah alur maju.

2.1.3  Latar atau Setting
Latar atau setting adalah meliputi tempat, waktu dan suasana atau budaya yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa dalam suatu cerita.
a.       Latar tempat, yaitu penggambaran tempat kejadian.
1.      Hotel
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Aku disuruh Pastor Boli menginap di wisma, tetapi aku lebih suka tinggal di hotel. Maka, tiap malam Pastor Flores itu harus mengantarku kembali ke hotel dengan sepeda motornya yang sangat besar. Bagaimana?”

2.      Di dalam pesawat
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Aku sebenarnya agak takut naik pesawat di negeri seperti ini.”

3.      Bandara
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Di sini kami akan bertemu Uskup yang baru saja ditahbiskan, tetapi tiba-tiba uskup itu harus ke Jakarta, hingga kami malah bertemu dia di Airport Ngurah Rai di Denpasar.”
“Agak lega juga aku, ketika pesawat mulai turun, lalu pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Waloti di Maumere.”

4.      Maumere
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Dan, kami juga harus bermalam di Maumere.”
“Agak lega juga aku, ketika pesawat mulai turun, lalu pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Waloti di Maumere.”

5.      Denpasar
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Dia mengatakan bahwa pesawat akan berhenti di Denpasar, lalu ganti pesawat lain ke Maumere sebab tiket ke Larantuka sudah habis sejak sebulan lalu.”

6.      Wisma Keuskupan
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Baiklah Maria, o, ternyata aku memang pasti akan bertemu uskup karena tempat menginapku di wisma keuskupan.”

7.      Larantuka
Gambaran latar ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Maria, mengapa orang-orang di sekitar Larantuka ini miskin? Apa karena sibuk berdoa lalu mereka lupa bekerja hingga jadi miskin?”

b.      Latar waktu, yaitu penggambaran waktu kejadian.
1.      Siang hari
Gambaran ini terdapat dalam kutipan berikut:
“Wah, matahari di sini benar-benar panas, dan itu sangat menyenangkan.”

c.       Latar suasana atau budaya, yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya cerita atau peristiwa dalam cerpen.
1.      Memalukan
Gambaran mengenai suasana yang terjadi terdapat dalam kutipan berikut:
“Jadi arak- arakan Samanasanta itu akan terjadi tepat pada hari Jumat Agung dan itu sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam? Maaf Maria karena aku hanya mendengar dari kawan-kawan bahwa arak- arakan itu pada hari Paskah. Jadi, salah ya?”
2.      Menegangkan
Gambaran mengenai suasana yang terjadi terdapat dalam kutipan berikut:
“Indonesiamu ini sebenarnya indah sekali, tetapi, ya, aku tidak perlu melanjutkan kata tetapi ini kepadamu. Tetapi kamu yang kemudian memprotesku bahwa ini juga Indonesiaku. Itu dulu bukan? Itu dulu sekali. Sekarang aku tidak punya apa-apa.”

2.1.4  Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.
Dalam cerpen ini watak tokoh yang ingin ditunjukkan oleh pengarang adalah sebagai berikut:

a.  Aku
Tokoh Aku diceritakan sebagai seorang lelaki paruh baya yang sudah kehilangan gairah hidup sehingga sikap yang ditunjukkannya cenderung acuh tak acuh. Namun masih memiliki keingintahuan yang sangat tinggi.
Gambaran mengenai watak ini ditunjukkan oleh kutipan berikut:
“Aku bahkan sudah tidak punya kehidupan ini. Tidak usah kaget. Apakah kamu belum tahu bahwa aku ingin datang ke Samanasanta karena sudah tidak terkesan dengan Lourdes dan Fatima, sudah capek dengan Sungai Yordan dan Laut Mati, sebab di sana sudah tidak kudapatkan apa-apa. Juga di Vatikan. Bukan, bukan kesembuhan dari penyakit ini. Bukan itu Maria. Aku mati memang sudah pas bukan? Karena umur memang sudah cukup. Tetapi aku ingin menjadi orang yang sungguh manusia, dengan mendapatkan pengalaman spiritual yang juga sungguh manusiawi. Lalu, aku disuruh banyak kawan agar datang ke Samanasanta.”

b.  Maria
Dalam cerpen ini, tokoh Maria diceritakan sebagai sosok wanita baik hati, cantik, cerdas dan mempunyai semangat yang tinggi.
Gambaran watak tokoh ini terletak pada kutipan berikut:
“Ternyata Maria sangat cantik. Dia juga cerdas dan semangatnya tinggi. Meski sudah mendengar suaranya di telepon, tetapi ketika aku mendengar dia berbicara berhadap-hadapan denganku, aku merasakan suara menjadi lebih berat dan tajam. Dia menyebutku sebagai orang yang terbuang dan terkalahkan, dan aku menerima saja sebutan itu.”

2.1.5  Sudut Pandang
Sudut pandang, yaitu posisi pengarang dalam membawakan cerita.
Cerpen sastra “Samanasanta” ini memakai sudut pandang orang pertama. Hal ini terlihat dari sikap pengarang yang berusaha menempatkan dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita ini dengan menggambarkan sosok dari tokoh utama dengan istilah “aku”.
Gambaran ini terletak pada kutipan berikut:
“Aku meninggalkan Paris sudah seminggu lalu, tetapi terlalu lama aku tertahan di Bangkok. Ditambah lagi ketika Jakarta, yang juga sama macet dengan Bangkok, telah menyita banyak sekali waktu.”

2.1.6  Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang.
Jadi amanat yang bisa diambil dari cerpen sastra Samanasanta ini adalah:
a.     Rasa toleransi yang tinggi akan mewujudkan masyarakat dan lingkungan sosial menjadi kondusif.
b.      Cintai negerimu.
c.       Kita tetap harus memiliki rasa nasionalisme terhadap negara lain yang memiliki aliran darah yang sama walaupun tidak berstatus warga negara.

2.2  Unsur Ekstrinsik Cerpen
Unsur ekstrinsik cerpen adalah unsur yang membangun cerpen dari luar. Unsur ekstrinsik meliputi :

2.2.1  Latar Belakang Pengarang
Pengarang menempatkan dirinya sebagai sosok asing yang memiliki banyak identitas dan serba ingin tahu.

2.2.2  Agama
Pada cerpen ini, cenderung bersifat agamis. Hal ini dibuktikan dari teks, yaitu banyaknya pembicaraan mengangkat tema agama yang kental hidup di kalangannya, walaupun sumber agama yang dibicarakan berbeda-beda.

2.2.3  Ideologi Pengarang
Pengarang cenderung memiliki paham komunis.

2.2.4  Keadaan Sosial Budaya Ketika Cerpen Diciptakan
Keadaan sosial dan budaya berada pada posisi yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya acara-acara sosial, percakapan individu yang akrab dan berbobot serta tingginya antusias individu terhadap kehidupan bernegara maupun beragama.

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa cerpen sastra yang berjudul “Samanasanta” ini memiliki unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik yang meliputi:
1.      Unsur Intrinsik
a.       Tema    : Keagamaan, kepercayaan
b.      Alur       : Maju
c.       Latar atau Setting

Latar tempat
Hotel, pesawat, bandara, Maumere, Denpasar, Wisma Kauskupan dan Larantuka

Latar waktu
Siang hari

Suasana
Memalukan dan menegangkan
d.      Penokohan
Aku
Acuh tak acuh terhadap hidupnya dan memiliki keingintahuan yang besar.
Maria
Baik hati, cantik, cerdas dan mempunyai semangat tinggi.
e.       Sudut Pandang    : Orang pertama
f.       Amanat

Rasa toleransi yang tinggi akan mewujudkan masyarakat dan lingkungan sosial menjadi kondusif.
Cintai negerimu.
Kita tetap harus memiliki rasa nasionalisme terhadap negara lain yang memiliki aliran darah yang sama walaupun tidak berstatus warga negara.

2.   Unsur Ekstrinsik
a.    Latar belakang pengarang
Pengarang menempatkan dirinya sebagai sosok asing yang memiliki banyak identitas dan serba ingin tahu.

b.    Agama
Pada cerpen ini, cenderung bersifat agamis. Hal ini dibuktikan dari teks, yaitu banyaknya pembicaraan mengangkat tema agama yang kental hidup di kalangannya, walaupun sumber agama yang dibicarakan berbeda-beda.

c.   Ideologi pengarang
Pengarang cenderung memiliki paham komunis.

d.   Keadaan social budaya ketika cerpen diciptakan
Keadaan sosial dan budaya berada pada posisi yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya acara-acara sosial, percakapan individu yang akrab dan berbobot serta tingginya antusias individu terhadap kehidupan bernegara maupun beragama.

3.2  Saran
Membaca karya sastra bukan suatu hal yang rumit jika kita dapat memahami dan mecitrakan amanat dari tiap karya sastra kedalam kehidupan nyata. Karya sastra yang berwujud cerpen contohnya, karya sastra sekali duduk ini dapat membantu kita dalam pemahaman karakter bangsa dan rasa nasionalisme. Namun, karya sastra saat ini mulai banyak ditinggalkan oleh generasi muda. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi dan memperbanyak karya sastra untuk meningkatkan karakter anak muda yang mengangkat isu-isu panas saat ini sehingga memiliki fungsi ganda yaitu memperkokoh moral anak bangsa dan memperkaya karya sastra Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

F Rahardi. 2007. Samanasanta dalam Surat Kabar Kompas edisi 15 Juli 2007.
Soimatun. 2012. FOKUS (Buku Mandiri Pegangan Siswa).Penerbit:CV Sindunata.
Diposkan oleh Indriani Sunsufi di 22.13
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Permalink 1 Komentar

Yuyun

03/02/2015 at 12:29 (cerpen)

Sehari-hari, Sri Wahyuni dipanggil Yuyun. Umurnya 45 tahun. Ia menikah pada umur 22 tahun. Tetapi setelah lima tahun menikah, baru punya anak. Selanjutnya, hampir tiap tahun ia melahirkan, sampai anaknya empat orang, laki-laki tiga, perempuan satu. Anak tertuanya sekarang umur 18 tahun, yang paling kecil baru 13 tahun. Suaminya Kuswanto, pekerjaan utamanya tani, tetapi tidak pernah Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

San Domingo

26/06/2014 at 14:14 (cerpen)

Selamat sore, ini belum malam bukan? Lihatlah laut itu masih berkilau memantulkan cahaya matahari. Adonaramu itu, Solormu itu, gunung Ile Mandiri bagai tembok tinggi memagari Larantukamu ini. Selamat sore, marilah kita duduk sebentar melepas penat, setelah lebih dari tiga jam diperam dalam perut minibus. Memang ada AC yang sangat dingin, tetapi Baca entri selengkapnya »

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Menikuskan Tikus

23/05/2013 at 12:04 (cerpen)

Jikalau tikus-tikus sudah menjadi tidak seperti tikus lagi lantaran tak mau maling dan jinaknya bukan main hingga dia mau saja kita elus-elus lalu ketika kita masukkan ke saku celana dia diam saja, apa jadinya dengan manusia. Mereka pasti sudah menjadi tidak seperti manusia lagi hingga gemar sekali di tempat gelap untuk berbuat seperti tikus dan kadangkala menyuruk-nyurukkan moncongnya yang juga berkumis apabila kedapatan olehnya apa saja yang patut untuk disuruki moncong. Ini tak boleh terjadi. Hingga tikus harus kembali kita tikuskan dan kita biarkan maling apa saja atau janganlah dia diusik walaupun dengan ganas menggeragoti makanan manusia yang memang ditakdirkan juga menjadi makanannya. Aku lalu tidak berani lagi mengejar-ngejar dia atau memasang perangkap. Dan tatkala dia dengan berani memanjat tubuhku lalu menggeragoti bibirku yang baru saja melahap ikan asin, kubiarkan saja sambil menahan sakit yang ditimbulkannya. Bahkan ketika istriku kaget dan menjerit aku tetap tenang dan bilang :

“Tenang. Aku tetap manusia dan dia normal sebagai tikus”.
“Kalau begitu, meskipun manusia, kamu ini sudah sinting. Lihat bibirmu, berdarah kan?”
“Biar”.
“Itu kan bisa diobati”.
“Lalu tikus-tikus itu?”
“Biarkan saja, itu sudah perangainya. Sebagai manusia kita ini harus tetap menjadi manusia. Hanya paling-paling lebih dituntut untuk berhati-hati”.
“Tidak bisa”.
“Lalu?”
“Tikus-tikus itu harus binasa”.
“Itu juga tidak bisa. Bayangkan sekali beranak berapa. Dan kau hamil sekali dia sudah melahirkan enam kali”.
“Kalau begitu kita harus menjinakkannya”.

Betul. Sejak malam itu istriku selalu menyediakan makanan yang lezat-lezat di atas meja. Dan ketika barisan tikus itu menyerbunya dibiarkannya saja hingga makanan itu dalam sekejap saja ludas. Dia membuka lemari dan tempat beraspun tak pernah ditutupnya lagi. Sedikit demi sedikit dia melatih tikus itu agar menjadi jinak dan mau dipegang-pegang. Karena biasa diberi makan, lama-kelamaan usaha istriku ini berhasil. Bahkan ketika usahanya ini akan menemui kegagalan lantaran perbuatan seekor kucing, dengan ganas binatang itu dicincang dan dagingnya disajikan pada tikus piaraannya. Akibat dari perbuatannya ini tikus memang menjadi sangat jinak. Dia mau dielus-elus dan dipegang, bahkan tak jarang ada anak-anak tikus yang keluar masuk kutang dan dasternya. Makanan memang tak pernah lagi dicuri sebab telah disajikan dengan aman di tempat terbuka. Aku tak perlu repot lagi menjahitkan bibirku karena sejak itu tikus yang memanjat tubuhku bukan bermaksud untuk menggigit bibirku tapi sekedar berolahraga sambil bercanda menggodaku. Aku senang sekali melihat hasil jerih payah istriku. Tapi ketika uang rapelanku turun, segera kuantar dia ke depan penghulu untuk kuceraikan. Sejak itu aku menjadi duda dan istriku pun sekarang menjadi seperti manusia lagi. Sering kulihat dia keluar masuk di tempat-tempat yang gelap entah apa saja yang dikerjakannya di sana, hanya saja aku berharap dia tetap seorang manusia dan tak pernah berbuat seperti tikus.

Akibat dari perceraian itu anggaran belanja istriku untuk para tikus terpaksa dikurangi sedikit, hingga akhirnya dihapuskan sama sekali. Dia terpaksa membeli beras hanya khusus untuk dirinya sendiri. Dan ketika inipun sulit untuk dilaksanakannya terpaksalah dia menggantinya dengan singkong. Dan entah bagaimana caranya dia tetap bisa bertahan hidup. Entah sebagai manusia seratus persen atau sebagai tikus sekian persen aku kurang begitu tahu. Yang jelas dia tetap tabah dan bertahan. Justru aku yang dalam keadaan ini kerepotan.

Seperti lazimnya manusia yang dikaruniai kelamin laki-laki dan kebetulan juga normal bentuk serta kerjanya, lama-kelamaan hidupku tambah runyam. Aku memang tetap bisa menggauli wanita-wanita gituan, tapi jelas bukan secara teratur tiap malam seperti yang kuharapkan. Soalnya anggaran untuk itu kelewat besar bila dibiarkan. Hitung punya hitung akhirnya kuputuskanlah untuk kembali saja menemui istriku. Tapi apa katanya?

“Aku kan bukan lagi istrimu?”
“Tapi aku kan laki-laki dan kau perempuan?”
“Tapi aku tetap bukan istrimu lagi. Aku tidak mau”.
“Tapi dengan lelaki lain mau?”
“Tapi kau kan bukan tikus yang mampu menunggangi tikus lain yang bukan bininya? Katanya kau manusia?”
“Ya, tapi aku mampu menunggangimu. Maksudku aku mampu membayarmu”.
“Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau!”

Baiklah, aku mengalah. Malam itu aku terpaksa kembali pada langgananku. Maksudku langganan bakti. Karena perutku lapar, makanlah aku kenyang-kenyang. Sejak menduda aku memang selalu makan di luar. Dalam bulan-bulan biasa memang tak ada persoalan. Tapi ketika bulan Ramadhan tiba repotlah semua. Aku terpaksa bekerja sambil menanggung lapar dan haus. Bukan hanya di siang hari tapi juga malamnya, sebab tak ada warung yang buka di sekitar tempat tinggalku. Untuk mengatasi keadaan ini datanglah aku menemui bekas istriku lagi. Dia nampak sedang masak dan nampaknya enak sekali yang dimasaknya.

“Hallo!” Seruku di depan pintu. Dia kaget dan melongok.
“Datang lagi?”
“Ya. Sedang masak apa, nampaknya kok enak?”
“Jelas enak karena ini paha ayam, itu nasinya dan sambalnya juga siap sebentar lagi.
“Tepat kalau begitu. Aku juga sudah lapar kok”.
“Ya, silahkan. Teruskanlah laparmu, aku mau makan sendirian”.
“Jangan keterlaluan”.
“Siapa yang keterlaluan?”
“Kamu!”
“Lo, ini kan hasil jerih payahku sendiri, masakan kau mau minta?”
“Bukan minta. Ini aku juga bisa kalau disuruh membayar”.
“Sori, ini bukan warung bakti”.
“Tapi aku sudah sangat lapar dan sekarang tak ada warung yang buka lantaran bulan Ramadhan”.
“Aku tak mau tahu, kita kan sudah tak ada hubungan!”

Bajingan! Aku lalu mengumpat dan pergi. Tapi sesampai di rumah aku tak kunjung bisa memejamkan mata. Kalau tikus sudah tidak seperti tikus lagi, manusia memang celaka. Bayangkan, yang namanya tikus saja tak pernah dia kelaparan. Masakan aku yang konon makhluk lebih mulia sampai terpaksa puasa siang-malam sebulan lamanya. Esoknya aku tak berangkat kerja dan buru-buru kutemui bekas, sekali lagi “bekas” istriku. Sayang dia tak ada di rumah. Sorenya aku kembali lagi dan kukatakan terus terang bahwa aku ingin sekali kembali padanya.

“Baik, katanya dengan tegas. Tapi carikan rumah yang lebih layak untuk tinggal seorang manusia, hingga tikus-tikus tidak kerasan tinggal di sana”.

Permintaan bekas istriku itu kusanggupi. Aku akan mencari rumah yang lebih baik dari rumah yang kami tempati dulu. Karena gajiku memang tak memenuhi syarat untuk keperluan itu, padahal kemampuan untuk ngobyek dengan cara lain tak diwariskan oleh kedua orang tuaku, terpaksalah aku menempuh jalan tengah. Untung pekerjaanku memang melibatkan tanganku untuk memegang serta menimang-nimang uang. Dalam waktu yang singkat sifatku sebagai manusia kusisihkan untuk kemudian kuganti dengan moncong tikus yang lincah dan rakus. Angka-angka kusulap supaya yang kusikat tak lekas tersingkap. Dengan rapi seluruh manusia di kantorku kuberi rezeki, mulai dari atasanku sampai tukang pel dan sapu, semua mendapat bagian. Dengan kata lain kugiring mereka itu untuk ikut serta ramai-ramai menjadi tikus, hingga segala periketikusanku menjadi sah dan aman. Dan beberapa bulan kemudian aku memang sudah kembali beristri dan menempati sebuah rumah yang lebih layak untuk ditempati manusia. Sekarang aku tak perlu lagi terganggu oleh tikus-tikus yang memanjat dan menggigit bibirku. Juga istriku tak perlu repot dengan menyediakan anggaran belanja ganda untuk manusia dan tikus-tikusnya. Tapi baru saja kebahagiaan ini kukecap, datanglah semprotan yang tajam dari pihak atasan.

“Kalau duit kantor mau kau korbankan hanya demi kepentingan menikuskan kembali tikus, lebih baik kamu menjadi tikus saja sekalian”.
“Maksudnya?”
“Kalau kau ini maling duit kantor hanya untuk mendapatkan rumah yang tak bertikus, lebih baik kujebloskan saja kau ke kandang tikus”.
“Jadi seharusnya kupakai untuk apa duit itu?”
“Untuk apa? Seharusnya tak boleh dipakai, tak boleh dicuri. kau tak boleh korupsi, tahu?”
“Tapi kan bapak ikut makan?”
“Stop! Coba buktikan!”

Aku terhuyung. Aku terhuyung-huyung masuk ke kamar tahanan. Aku ditahan dan tidur serta berak bercampur dengan tikus-tikus. Mereka itu tikus-tikus yang kuat; yang pernah membunuh, ada yang memperkosa tetangga, ada yang merampok bank dan lain-lain. Bludrekku kumat. Di sini susah mataku membedakan mana yang manusia dan mana yang tikus sesungguhnya. Sebab kalau malam tiba, tikus yang sesungguhnya itu hanya melintas. Tak mau dia berhenti di ruang tahanan ini karena memang tak ada yang pantas untuk dicuri. Atau lantaran ngeri menyaksikan tikus-tikus lain yang lebih rakus dari dia sendiri?***

Sumber : Buku Kentrung Itelile, Penerbit Puspa Swara Tahun 1993

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Eyang Kian Santang

23/05/2013 at 11:41 (cerpen)

Dupa itu jatuh di atas bara. Asap harum yang misterius mekar mengisi kamar. Orang tua itu mencabut sebilah keris dari sarungnya, menempelkannya di telapak tanganku yang sedari tadi terbuka dan kutengadahkan. Dalam suasana yang hening dan khidmad orang tua itu berucap. “Maaf Pak, bisakah kali ini saya mengatakan sesuatu yang sebenarnya?”

Kutatap mata orang tua itu. Nampak jauh dan kelam. Saya ragu-ragu sejenak. Tapi akhirnya kujawab juga.

“Silahkan!”
“Tapi tidakkah Bapak akan memarahi saya?”
“Tidak”.
“Sungguh?”
“Ya!”
“Baiklah”.

Orang tua itu lalu kembali memasukkan kerisnya. Sehabis menghela napas panjang dia nampak manggut-manggut dan tersenyum, tapi hanya sejenak. Selanjutnya wajah itu menjadi nampak sangat bersungguh-sungguh hingga menakutkan hatiku. Katanya dengan datar dan berat:

“Begini Pak! Beda dengan tahun-tahun yang sudah, Bintang Bapak nampak redup di tahun mendatang ini. Sangat suram hingga saya pribadi takut untuk menjelaskannya secara terperinci.
“Tidak apa-apa. Eyang teruskan sajalah!” kataku dengan penuh wibawa. Tapi diam-diam rasa takut itu makin kuat di sini.
“Tahun depan ini Bapak bakal turun dari pentas!”
“Maksud Eyang?”
“Bapak tidak lagi akan menjabat kedudukan seperti sekarang ini”.
“Sebabnya Eyang?”
“Maaf, itu jauh di luar jangkauan pengetahuan saya”.
“Jadi saya akan dipensiunkan?”
“Sesuai dengan garis nasib Bapak, lebih jauh dari itu”.
“Jadi akan dipecat? Difitnah barangkali?”
“Bapak akan ditahan, diadili dan dipenjarakan. Lalu lebih jauh lagi puteri sulung Bapak akan terjerumus jadi gadis panggilan. Dan bisakah saya lebih jauh lagi?”
“Ya?”
“Ibu, maksud saya isteri Bapak, akan jatuh sakit dan perlu perawatan cukup lama sebelum akhirnya meninggal dunia”.

Terus terang meskipun Eyang Kian Santang ini merupakan penasehat spiritualku yang utama dan selama ini sangat bisa dipercaya” kali ini hati jadi sangsi juga dibuatnya. Apa lantaran isi amplop yang biasa kubawa ini mesti lebih disesuaikan lagi?

“Apakah Eyang tidak sedang bercanda kali ini?” tanyaku dengan muka yang agak berseri sedikit. Orang tua itu menggelengkan tubuhnya dan mendehem.
“Tidak! Saya bicara sesungguhnya”.
“Lalu bagaimana menurut pendapat Eyang jalan yang paling baik untuk mengatasi masalah ini”
“Sebaiknya Bapak mengundurkan diri di akhir tahun ini, dan memberikan kesempatan kepada yang jauh lebih muda”.
“Mengundurkan diri?”
“Ya!”
“Itu jalan satu-satunya?”
“Betul!”
“Lalu bagaimana nasib keluargaku? yang, anakku delapan orang, seluruh keluarga yang kutanggung ada empat belas jiwa. Mau makan apa mereka kalau aku mengundurkan diri”.

Peluh dingin merembes di kemeja. Setiba di rumah isteriku marah-marah. Dia bahkan sampai mengumpat dan menuduh dukun itu telah kena suap. Saya tentu saja menjawabnya tidak mungkin. Mustahil. Tiap akhir tahun saya selalu mendatanginya untuk minta gambaran tentang  keadaan tahun depan. Ramalan orang tua itu selalu bagus dan tak pernah melenceng sedikitpun. Saya akan dikaryakan sudah lama terbukti. Akan diangkat jadi Kepala Daerah di kawasan yang basah, juga sudah terjadi. Bakal mendapatkan rejeki besar juga ada benarnya meskipun dalam bentuk lain; ada mahasiswi yang lagi ber-KKN gandrung padaku dan sempat kuinapkan di hotel sekian malam. Nah! Tapi sekarang?

Kalau isteriku yang diramal akan sakit dan mati lebih banyak memakai emosinya persis seperti putri sulungku yang diramal akan jadi lonte, maka dalam hal ini saya lebih banyak menggunakan pikiran. Apa barangkali ada lawan politikku yang telah merancang suatu perangkap? Atau akan datang fitnah? Atau (dan ini mungkin lebih masuk akal), permainanku selama ini sudah tercium dari atas sana? Dan barangkali orang tua itu juga sudah tahu liku-liku permainanku? Atau jangan-jangan dia yang telah membocorkan rahasia ini ke atas untuk mendapat imbalan yang jauh lebih besar dari yang selama ini kuberikan? Itu mungkin saja lho! Tapi dari siapa orang tua itu tahu rahasiaku? Aku lalu memutar otak. Ada kemungkinan sekretarisku yang juga sering ke sana itu yang telah ngomong sama dia. Wah!

“Bu”, kataku pada isteriku. “Apakah mungkin si sekretaris itu telah membocorkan rahasia ke Eyang Kian Santang?”
“Mungkin saja, makanya sedari dulu saya ini selalu bilang berilah mereka itu peranan dan bagian yang cukup. Kalau sampean tidak kok! Sekarang kalau begini ini bagaimana coba. Masak dukun bisa bikin ramalan sampai begitu gamblang. Itu sudah jelas dia sudah tahu masalahnya”.
“Jadi sebaiknya bagaimana bu?”
“Panggil saja itu dukun. Suruh ngaku! Nanti kalau dia sudah mau terus terang, kita juga ikut terus terang dia mau minta apa.

Yang penting rahasia kita tidak tersebar”. Dua oknum berseragam saya minta menjemput Eyang Kian Santang. Jip berplat merah itu kembali meluncur ke gunung lewat jalan becek. Orang tua itu ternyata tak mau datang. Jawabnya singkat saja! Siapakah dalam hal ini yang berkepentingan, kalau saya yang perlu tentu akan sowan Bapak. Tapi kalau beliau yang ada kepentingan saya mohon dengan sangat sudi untuk kembali datang kemari. Bangsat betul orang tua ini. Tapi toh saya terpaksa datang juga ke padepokannya.

“Eyang, terus terang apakah Eyang sudah tahu permainanku selama ini?’
“Permainan yang Bapak maksudkan?”
“Jadi Eyang belum tahu?”
“Saya sama sekali tak tahu apa-apa Pak!”
“Betul?”
“Ya, betul!”
“Oke, soalnya terus terang saya jadi curiga dengan ramalan yang Eyang berikan tempo hari. Sepertinya Eyang telah tahu liku-liku permainan saya dengan sangat jelas hingga bisa meramal begitu”.
“O, jadi itu masalahnya. Begini Bapak, kalau hanya soal itu, saya bisa tanggung!”
“Maksud Eyang?”

“Misalnya ya, sekali lagi misalnya! Andaikata Bapak itu ada kesulitan sehubungan dengan hal-hal seperti yang bapak maksudkan tadi, Eyang akan dengan senang hati membantu tanpa pamrih apapun! Jadi kalau masalahnya itu percayalah tak bakalan Bapak sampai kehilangan kedudukan”.

“Lalu kembali ke ramalan Eyang tempo hari, bisakah kiranya Eyang memberikan penjelasan mengenai sebab-musababnya?”
“O, maaf Pak; kalau hal itu saya sebutkan, berarti saya telah mendahului kehendak yang Maha Pencipta!”
“Lalu?”
“Saya pribadi tetap menyarankan Bapak iklas untuk  mengundurkan diri secara terhormat. Turun sendiri dari kursi pelan-pelan jauh lebih enak daripada diseret orang!”

Merah telinga saya mendengar kata orang tua itu. Saya segera minta diri. Dan sejak itulah saya selalu dirundung kecemasan. Bagaimanapun kata-kata dukun itu ada bekasnya di hatiku. Saya lalu mulai curiga pada siapa saja. Seluruh orang kantor saya selidiki. Hansip petugas jaga malam di rumah kucurigai. Bahkan termasuk isteri dan anak-anakku pun ikut juga tak kupercayai lagi. Padahal sebenarnya tak ada sesuatu yang tak beres. Tentang aku korupsi misalnya, toh sulit untuk dibuktikan secara hukum. Sebab saya memang terkenal paling rapi di antara teman-teman dalam soal yang satu ini. Mengenai saya mempunyai simpanan seorang mahasiswi, toh juga tak pernah tercium sampai kantor atau rumah. Lalu apa?”

Tatkala saya menghadap “boss” untuk konsultasi rutin, beliau nampak kaget melihat kekurusan badanku.
“Lho, you malah bisa langsing begini? Rajin ke lapangan ya?”
‘Saya sakit pak!”
“Sakit? Sakit apa?”
“Tekanan darah saya naik pak, pikiran!”
“O, jangan terlalu banyak pikiran! Yang santai saja, tidak ada apa-apa. Nanti kalau masa jabatan yang ini habis, sudah dua kali kan? Dan tidak bisa diperpanjang lagi, sudah ada tempat yang bagus. Asal diingat saja pesan-pesan saya dulu. Tidak ada apa-apa!”

Tapi tekanan darah kian meninggi. Jangan-jangan boss itu hanya basa-basi saja bilang begitu itu? Yah, saya makin tak bisa percaya lagi pada siapapun termasuk pada diri sendiri. Dan kemudian ada kabar selentingan bahwa beberapa anak buahku mulai ada yang berani mengutak-atik permainanku. Mereka memang tak kuajak berperan selama ini. Bayangan Eyang Kian Santang nampak lagi. Saya bakal dipecat, diadili dan dipenjarakan. Isteriku akan sakit lama dan mati. Anak gadisku akan jadi “P”! Dan barangkali ini sudah bukan ramalan tapi lebih merupakan permainan kotor entah antara siapa saja untuk mencelakakan diriku. Sebelum semua terjadi, sumber malapetaka itu harus dilenyapkan. Eyang Kian Santang saya minta untuk dijemput dengan paksa. Dia datang ke kantor sebagai pesakitan, tapi matanya tetap nampak tajam, dan mulutnya selalu saja senyum-senyum.

“Eyang, maukah Eyang sekali lagi menjelaskan ramalan Eyang tempo hari?”
“Apakah itu belum cukup jelas Pak?”
“Sudah, tapi maukah Eyang memberikan penjelasan terperinci mengenai sebab-musababnya?”
“Wah, dari dulu kan sudah saya sebutkan bahwa itu di luar pengetahuan saya. Apakah Bapak belum juga memahaminya?”
“Tapi bisakah Eyang mencabut kembali ramalan itu?”
“Maksudnya?”
“Eyang harus membuat pernyataan bahwa ramalan itu hanyalah bohong-bohongan saja!”
“Aduh, saya malah jadi tidak mengerti kehendak Bapak ini”.
“Silahkan tidak mengerti tapi Eyang harus membatalkan ramalan itu”.

“Maaf, begini Bapak : Apakah artinya omongan orang seperti saya ini? Bapak sebagai umat beragama mestinya tahu bahwa nasib orang ada di tangan yang Maha Pencipta! Saya ngomong begini tapi kalau Dia menghendaki begitu, hasilnya juga tetap di Tangan Yang Kuasa”.
“Jadi Eyang tetap menolak untuk membatalkan ramalan itu?”

“Sudah saya sebutkan Pak, yang menentukan Sang Pencipta?”
“Tapi yang meramalkan hal itu kan Eyang sendiri?”
“Saya hanyalah sekedar perantara”.
“Tapi saya bisa menuduh Eyang membuat fitnah dan menganut kepercayaan yang bertentangan dengan Pancasila, dan yang sendirilah yang justru bisa diadili”.
“Itu terserah Bapak saja”.
“Jadi Eyang tetap meramalkan bahwa saya akan dipecat?”
“Ya!”
“Isteri saya akan sakit-sakitan lalu mati?”
“Ya!”
“Dan anak saya lalu jadi lonte?”
“Ya, seperti kata Bapak sendiri!”

Darah naik ke ubun-ubun. Pandang mataku seperti berkabut. Tangan kananku erat menggenggam pestol. Benda itu kuacungkan ke pelipis Eyang Kian Santang. Tapi orang tua itu nampak tenang sekali bahkan tersenyum.
“Eyang tahu ini apa?”
“Ya!”
“Eyang harus membatalkan ramalan itu”.
“Yang bisa membatalkan justru Bapak sendiri. Silahkan mundur, kembalikan harta hasil korup itu pada rakyat dan …

Pestol itu meledak. Orang tua di depan saya itu roboh dengan kening berlubang dan mengucurkan darah. Orang berbondong-bondong. Isteri saya menjerit dan seluruh tubuhku jadi seperti lunglai. ***

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Next page »