INTEROGASI III

17/12/2013 at 15:16 (puisi)

Jenderal itu
pundaknya agak melorot ke bawah
ditindih empat bintang di kiri
empat bintang di kanan
dan sederet tanda jasa di dada.

Bintang-bintang itu gemerlap
sebab berlapis emas
duapuluh empat karat.

Biasanya jenderal itu
berpenampilan gagah
lebih-lebih di depan anak buah
atau ketika disorot kamera tivi
tapi kini
dia seperti sedang berhadapan
dengan presiden
atau jenderal besar bintang lima
pamornya langsung pudar
pandang matanya yang biasa tajam
jadi lunak dan ramah
dia lalu menjadi manusia biasa
Mas Wibisono dari Klaten
yang isterinya suka bawel
dan mertuanya galak
dia lalu minta rokok.

“Merokok bisa mengganggu kesehatan!
Jenderal kok merokok!”
Badak itu membentak dengan suara keras.
Dalam hati jenderal itu heran.
Badak kok bisa ngomong?
Tapi nyalinya untuk bertanya
sudah sirna.
Dia lalu menunduk.

“Sudah berapa aktivis politik
yang kamu culik?”
“Empat puluh!”
“Buset. Banyak banget.
Kata koran-koran hanya duabelas?”
“Sumber mereka sumber sekunder!”
“O! Lalu kamu apakan mereka itu?”
“Ya didor lalu dibuang ke laut.”
“Kok sadis amat kamu itu ya?”
“Saya bagian dari sebuah sistem
dan struktur yang lebih besar lagi
yang sadis ya sistem dan strukturnya itu.
Bukan saya!”
“Lalu huru-hara itu?
Katanya yang menggerakkan dan memprovokasi
anak buah Anda?”
“Memang. Itu berlangsung sampai sekarang.
Mengapa saya hanya diam?
Kembali, saya adalah bagian dari
sebuah struktur dan sistem.”
“Lalu mahasiswa yang ditembak?
Lalu penjarahan? Perkosaan?
Pembunuhan para Ulama itu?
Pembakaran gereja, pembakaran mesjid?”
“Sudahlah, mending kita gaple saja
atau main gundu!”
“Gundu?”
“Golf goblok!”
“O, golf!”
“Itu bisa menghilangkan stres
daripada ngomong soal-soal yang Anda sebut-sebut tadi!”
“Tampaknya kamu ini takut sekali
menghadapi masalah tadi ya?
Jenderal kok penakut!”
“Bukan takut tapi bosen!
Mending kita main gaple saja.
Saya bawa kartunya kok!”
“Badak kok diajak main gaple,
kamu ini jenderal apa?
Presidenmu itu sampai sekarang  belum ketemu kan?
Presidennya diculik kok jenderalnya
tenang-tenang saja!”
“Apa kalau jenderalnya stres
harus ditunjuk-tunjukkan ke kamu,
ke wartawan, ke anak buah?
Diam-diam saya sedang mengatur strategi!”
“Saudara Jenderal, menurut Anda,
Anda itu sukses atau gagal selama ini?”
“Saya merasa dirong-rong
dari kiri dan kanan
dari atas, dari bawah,
dari depan, dari belakang
bahkan anak isteri, keponakan, menantu,
besan, saudara kandung, saudara tiri,
saudara ipar, mertua, semua merong-rong saya.
lihatlah mata saya yang cekung
rambut saya yang penuh uban dan botak di tengah
lihatlah seluruh wajah saya.
hitunglah berapakali dalam sehari
saya bisa tersenyum atau tertawa.
Sulit!”
“Jadi Anda mengaku gagal?”
“Tepatnya begitu!”
“Apakah ada niat
untuk mengundurkan diri?”
“Begini ya.
Dulu itu saya diangkat sebagai panglima secara paksa.
Tiba-tiba saja saya dipanggil presiden lalu diberitahu
akan diangkat menjadi panglima.
Waktu itu saya langsung menolak.
Pertama, saya banyak melangkahi senior saya.
Kedua, saya merasa karir puncak saya itu di Kepala Staf.
Tapi Presiden marah besar.
Dia mengatakan ini perintah, titik.
Sejak itulah sebenarnya
saya merasa hidup saya ini telah gagal.”
“Saudara Jenderal,
Anda jangan melempar tanggungjawab ke pihak lain.
Lalu semua disalahkan.
Anda sendiri kan pribadi yang lembek!”
“Itulah repotnya.
Sebenarnya saya menjadi tentara
itu pun bukan kehendak saya.
Ibu saya itu dari saya masih di TK
sudah ribut agar saya masuk AMN.
Saya sendiri sebenarnya ingin jadi pelukis.”
“Ah masak?”
“Benar. Coba kalau ada kertas dan pensil
saya bikin sket badak.
Pasti bagus!”
“Sebenarnya saudara itu lebih pantas menjadi ajudan.
Bukan panglima!”
“Lo, itu benar!
Sayalah ajudan bapak presiden yang paling disayangi.
Sayang, saat ini saya tidak tahu beliau berada di mana.
Badak, bolehkah saya selaku panglima
atau rakyat biasa mohon ijin untuk sejenak saja
bertemu beliau?”
“?”
“Oh, terimakasih. Terimakasih.
Saya merasa sangat berbahagia!”
“Saudara itu seumur-umur
memang belum pernah menderita.
Belum pernah tahu yang namanya sengsara.
Coba ini kalau ingin tahu rasanya diseruduk badak!”
“E jangan. Tolong jangan.
Ampun.
Saya menyerah.
Tapi.
E jangan diseruduk . . . . . .!”

Badak itu menyeruduk
sang jenderal terjengkang
badak itu menendang
sang jenderal terguling-guling
badak itu ingin menginjak
sang jenderal menjerit.

“Sudahlah Dak! Nanti mati dia!”
“Pengarang jangan ikut campur!
Ini urusan saya dengan dia.
Antara badak dan jenderal!”
“Iya tapi jangan diinjak.
Di dada lagi!
Bisa remuk dan langsung mati.
Sudahlah. Dia sudah sangat ketakutan!”
“Untung saya lagi baik hati.
Meskipun yang melarang pengarangnya
kalau sudah jengkel saya tidak pernah peduli.
Jenderal brengsek!”

Badak itu menendang sekali lagi
lalu pergi.
Jenderal itu berusaha bangun
dengan susah payah
dia lalu duduk
dan tampak kuyu
selama ini dia dihormati
ditakuti
bahkan setengahnya didewakan
tetapi kini?
badak itu memanggilnya
dengan “Saudara Jenderal!”
itu sebuah penghinaan besar
tetapi dia tidak berdaya

Mengapa?
Mengapa tiba-tiba saja dia
bisa tercabut dari komunitas
yang ekstra kuat itu?
di mana ajudan?
di mana pasukan penjaga?
di mana pacar gelapnya?
badak itu datang lagi
apakah ini mimpi buruk?
atau benar-benar terjadi?
atau bagaimana?

“Ini bukan mimpi!
Lihat! Kalau kuinjak kakimu, akan remuk dan terasa sakit.
Mau kuinjak?”
“Jangan! Jangan!
Pak pengarang, tolong.
Badak sampeyan ini!
Tolong!”
“Memangnya dia bisa menghentikan saya?
Tadi saya berhenti bukan karena pengarang itu melarang.
Saya kebelet kencing tahu!”
“O!”
“Saya badak sopan.
Coba kalau kau langsung ditangani oleh pengarang itu.
Dia akan segera kencing di mukamu!”
“Maaf! Maaf pak badak.”
“Saya jangan dipanggil pak.
Saya ini masih remaja!”
“O! Maaf dik badak!”
“Nah begitu! Mau kuinjak.
Atau diseruduk?”
“Tidak! Ampun!”
“Jenderal kok minta ampun.
Kalau ketangkep musuh bagaimana itu?
Saudara ini jelasnya mau ikut siapa sih.
Ekstrim kiri, Ekstrim kanan,
kelompok status quo atau reformis?”
“Saya pakai falsafah kaum Badui Dalam.
Ketika tahun 1971 mereka diminta ikut pemilu,
jawaban mereka tegas.
Mereka tidak mau ikut pemilu dan nantinya
akan ikut yang menang.
Sikap saya sama!”
“Dasar oportunis!
Bagaimana kalau yang menang kaum fundamentalis?”
“Ya ikut maunya mereka!”
“Kalau kaum reformis?”
“Juga ikut maunya mereka!”
“Kalau kuinjak perutmu?”
“Jangan! Ampun pak!”
“Pak lagi! Buka mata lebar-lebar.
Ini manusia atau badak?”
“Anu. Mas badak!”
“Mas lagi! Tadi dik!
Tahu bagaimana kami menculik saudara?”
“Tidak!”
“Paranormal Anda telah menculik salah seekor warga kami.
Gantian saudara kami culik!”
“Lo yang menculik kan paranormal.
Mereka kelompok lain.
Bukan kelompok kami.”
“Saudara itu kan panglima.
Jadi bertanggungjawab terhadap
seluruh keamanan di negeri ini.
Tidak peduli kelompok manapun
kalau melanggar hukum ya ditindak.
Tahu yang disebut hukum?”
“Tahu pak!”
“Pak?”
“Anu, Oom badak!”
“Oom?”
“Mas! Eh dik badak!”
“Tahu nggak hukum?”
“Tahu dik badak!”
“Saudara itu terlalu banyak menikmati hidup enak.
Ikut korupsi.
Memeras cina-cina.
Istrinya, anaknya, adiknya, siapa lagi itu,
semua dijadikan anggota parlemen.
Apa itu pantas?”
“Maaf dik badak.
Status saya saat ini sebagai apa?
Lalu apakah boleh saya bertemu langsung
dengan pengarang buku ini.
Mungkin saya bisa kasih proyek ke dia
hingga tidak perlu repot-repot bikin buku semacam ini.
Boleh dik badak?”
“Ketemu yang ngarang? Kok enak sekali?
Saudara bisa ketemu badak saja sudah lumayan.
Apa mau saya pertemukan dengan ular belang?
Atau macan tutul? Atau ulat bulu?
Atau lebah hutan?”
“Jangan! Sudahlah.
Dengan dik badak saja cukup!”
“Ya, jadi status Anda adalah terculik.
Jadi sama dengan presiden saudara.
Terculik!
Tadi katanya ingin ketemu dengan presiden?
Nanti akan diatur.
Tetapi tidak sekarang. O, ya, rumah saudara berapa?”
“Rumah dinas atau pribadi?”
“Ya rumah pribadi goblok!”
“Dua!”
“La yang di Bandung?”
“Yang di Bandung satu!”
“Di Malang?”
“Di Malang satu!”
“Di Medan?”
“Di Medan satu!”
“Jadi semua berapa?”
“Lima, ditambah di Cisarua satu
di Carita satu jadi ada tujuh!”
“Di LA katanya juga ada?”
“Di Boston!”
“Di Pert juga ada kan?”
“Hanya apartemen kecil.”
“Katanya di Madrid juga ada?”
“Tidak ada. Di Bahrain malahan ada
tapi atas nama keponakan.”
“Anak-anaknya sekolah di mana?”
“Semua di Boston!”
“Berapa sih semua?”
“Tiga! Laki dua perempuan satu!”
“Yang di Senggigi?”
“Itu anak bawaan dia.
Dengan saya belum ada!”
“Dia siapa?”
“Ala, Dik badak ini!
Pura-pura tidak tahu. Ya pacar saya!”
“Katanya di Wamena juga ada?”
“Tidak! Itu hanya isyu!”
“Wah, Jenderal kok kayak gitu?”
“Begini dik, katanya warga badak itu minta merdeka
dan minta wilayah seluruh pulau Jawa.
Sebenarnya saya pribadi bisa mengaturnya.
Tapi saya ingin ketemu presiden
dan kalau bisa juga dengan
pengarang buku ini!”

“Pak Wibisono?”
“Lo, la ini dia pengarangnya!
Mas Rahardi ya?”
“Benar Pak. Maaf, para badak itu
memang agak nakal.”
“Saya mengerti. Saya bisa memahami.
Sudah berapa lama Mas Rahardi menggarap buku ini?”
“Sudah hampir dua tahun!”
“Dua tahun? Lama ya?
Sebenarnya begini Mas.
Saya itu sudah agak lama didorong oleh teman-teman,
juga oleh ibunya anak-anak……..!”
“Soal biografi itu Pak?”
“Benar! Kok Mas Rahardi sudah tahu?”
“Saya kan pernah dikontak Mayor Basuki.
Katanya utusan Bapak?”
“O, iya. Dulu!
Sudah lama sekali itu ya.
Tapi katanya Mas Rahardi sedang repot.
Sebenarnya kan bisa dibentuk Tim.
Artinya ada yang nulis,
ada yang wawancara,
mengumpulkan data,
lalu Mas Rahardi hanya koordinator saja,
tidak usah kerja.
Biar yang lain-lain saja yang repot.”
“Begini Pak. Sebenarnya saya bukan sedang repot.
Tetapi saya merasa tidak mampu.
Saya tidak sanggup.”
“Lo, saya memang pernah dengar dari teman kritikus,
katanya Mas memang tidak mau!”
“Tidak sanggup itu memang bisa juga diartikan tidak mau!”
“O, ya kalau begitu tidak apa-apa.
Mungkin saya baru bisa memberi honor kecil.
Jadi wajar kalau Mas Rahardi menolak.
Tapi saya tetap mengharapkan bantuannya
entah dalam bentuk apa, suatu ketika nanti.”
“Sekarang bapak ingin bertemu presiden?”
“Yang penting sebenarnya ketemu Anda.
Tapi kan sudah ketemu ya?
Kalau Mas Rahardi bisa membantu,
saya akan sangat berterimakasih.”
“Saya hanya bisa menghubungkan dengan petugasnya,
tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan mereka!”
“Tapi benar Mas Rahardi tidak bersedia nggarap proyek ini?”
“Sampai saat ini saya belum bersedia!”
“Kalau begitu saya minta pamit dulu.”
“Silakan Pak.
Sampai ketemu lagi nanti.”
“Ya! Permisi!”

“E, nanti dulu!
Ini pengarangnya juga goblok.
Jenderalnya sok tahu lagi.
Saudara ini terculik.
Yang ngarang ini bagaimana sih?
Terculik kok mau dilepas begitu saja.
Transaksi proyek lagi.
Di depan saya lagi.
Di depan kritikus katanya tidak mau
nggarap biografi jenderal.
E, diam-diam di belakang diembat!
Kalau sudah namanya duit, memang bisa bikin silau mata!”
“Lo, dia tetap menolak orderan saya!
Dik badak ini bagaimana?”
“Saudara terculik kembali ke tempat
dan jangan ikut nimbrung.
Tadi kan sudah saya larang
untuk ketemu dengan pengarangnya.
Kok tiba-tiba nyelonong?”
“Saya tidak tahu!
Tiba-tiba saja Masnya sendiri yang datang!”
“Ngapain ikut-ikutan ngurus terculik?
Ini urusan saya tahu! Atau minta saya hajar juga?
Minta saya seruduk? Saya injak-injak?”
“Lo, saya ini kan yang ngarang buku ini?”
“Tidak peduli! Biar jenderal, biar presiden,
biar pengarangnya sendiri kalau menyalahi prosedur
harus saya hajar!
Tahu?”
“Ya! Maaf! Tadi saya memang keliru.”
“Nah, tolong lain kali jangan diulang.
Kalau sampai terjadi lagi,
saya akan langsung angkat kaki ke Ujung Kulon.”
“Sekarang jenderal ini mau diapakan?”
“Kita kirim saja ke istana Bogor!”
“Oke, saya akan siapkan body transfer.”

Jenderal itu
dengan seragam yang mulai lusuh
dengan perut lapar
dengan nyali yang sudah
menciut drastis
masuk ke peralatan body transfer
lalu tahu-tahu sudah berada
di istana Bogor
yang penuh dengan badak
ratusan
mungkin ribuan.

Fragmen Prosa Lirik Negeri Badak

 

Tinggalkan komentar