Polemik F. Rahardi dan Ahmad Tohari


Ronggeng Dukuh Paruk :

Cacat Latar yang Fatal
oleh : F. Rahardi

Kesan utama yang segera timbul sehabis baca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (Gramedia, Jakarta 1982) adalah adanya sebuah latar (setting) yang sangat bagus. Latar tersebut terbentuk suasana alam pedesaan dengan lingkungan flora serta faunanya dan Ahmad Tohari berhasil melukiskannya dengan bahasa yang bagus dan menarik. Kesan yan begitu mendalam terhadap latar tersebut juga lebih diperkuat lagi oleh tidak terlalu luarbiasanya unsur-unsur lain seperti kerangka cerita, tema, alur, karakter tokoh dan lain-lain. Komentar terhadap latar yang cukup bagus tersebut ternyata sangat dominan pada setiap pembicaraan terhadap Ronggreng Dukuh Paruk, baik dalam pembicaraan lisan maupun tertulis. Sayang sekali, bahwa ternyata dalam latar yang kuat dan bagus tersebut tersembunyi cacat yang sangat fatal, berupa kesalahan, penamatan yang kurang cermat maupun keteledoran.

Tak pelak lagi, Ronggreng Dukuh Paruk adalah sebuah novel realis. Artinya, karya fiksi tersebut berangkat dari peristiwa-peristiwa yang dapat, bahkan lazim terjadi di masyarakat dan penulis berusaha untuk melukiskannya dengan gaya sepersis mungkin meskipun di sana-sini ada yang agak didramatisir. Dalam situasi seperti ini, kesalahan, kejanggalan dan kekurangcermatan tentu akan mengganggu. Lain halnya dalam karya fiksi yang sifatnya satiris, surealis atau absurd. Dalam keadaan seperti ini, penjungkirbalikan fakta atau unsur-unsur yang terdapat dalam fiksi merupakan sesuatu yang sah. Kesepakatan seperti ini tidak hanya melulu monopoli sastra atau dunia perfiksian. Dalam seni lukis, drama dan lain-lain juga ada kesepakatan serupa.

***

Berikut ini kami akan memaparkan kesalahan, kejanggalan, serta kekurangancermatan Ahmad Tohari dalam karyanya tersebut. Dengan pertimbangan bahwa apabila saya melakukan kutipan karya asli maka tulisan ini akan menjadi sangat panjang, maka dalam kesempatan ini saya hanya menyebut halaman serta alinea lalu langsung ke permasalahan yang akan dibahas. Saya mulai dari bagian pertama novel, hal 5 alinea II. Di sini penulis menyebut bahwa “kerokot” adalah tumbuhan jenis kaktus yang hanya muncul di sawah pada saat kemarau berjaya. Itu tidak betul. Kerokot yang tumbuh di sawah dukuh paruk itu nama latinnya Alternanthera sesilis atau disebut “keremek” atau “keramak”. Tumbuhan ini termasuk famili bayam-bayaman (Amaranthaceae) yang jauh sekali berbeda dengan kaktus yang merupakan sub famili dari sekulen (Succulentus) yang kesemuanya berasal dari benua Amerika (Pereskieae, Opuntieae dan Cereeae atau Cacteae). Ini merupakan suatu kesalahan yang cukup fatal untuk ukuran seorang novelis yang pernah memenangkan hadian Sayembara Penulisan Roman DKJ dan untuk penerbit Gramedia.

Kesalahan kedua masih ada di halaman 5 alinea selanjutnya. Penulis melukiskan bagaimana ganasnya burung alap-alap memangsa pipit dengan cara mengejar lalu menggigit menggunakan paruh. Padahal semua jenis burung ordo Falcoiformes selalu menangkap mangsanya dengan menggunakan cakar dan dengan cara menyambar. Jelas dalam hal ini penulis malas untuk membuka-buka raferensi. Alasan bahwa perubahan perangai alap-alap tersebut adalah untuk tujuan mendramatisir suasana tentunya kurang kena.

Mesih soal satwa, kali ini menyangkut katak dan kodok. Di halaman 25 alinea V dan halaman 88 alinea I, penulis menceritakan bahwa kodok adalah bangsa reptil, yang setelah malamnya kawin paginya akan nampak telurnya. Juga disebutkan bahwa suara katak pohon lebih jarang, atau tak sesering katak dan kodok hijau. Semua itu tidak betul. Kodok itu termasuk golongan amfibi. Yang masuk reptil adalah buaya, penyu, biawak, ular dan lain-lain. Cara kawin kodok juga seperti ikan. Artinya begitu mereka kawin, si betina mengeluarkan telur sementara si jantan memuncratkan sperma. Telur dan sperma ketemu di air di luar tubuh mereka. Jadi alat kelamin mereka tak saling masuk seperti pada reptil atau mamalia. Artinya pada saat mereka kawin itu telur sudah ada. Juga tidak benar bahwa katak pohon (Rana rhacopharos) bersuara lebih jarang daripada kodok atau katak hijau. Soalnya semua jenis rana (katak pohon, katak hijau, katak sawah, katak rawa dan katak batu serta rana-rana lain dari luar negeri), suaranya memang keluar dengan tenggang waktu terutama yang jantan. Yang bersuara ribut tak berkeputusan adalah bufo alias bangkong.

Masih tetap soal satwa, sekarang yang mendapat giliran adalah kelelawar. Di hal 14 alinea II penulis menyebut adanya kelelawar dan kalong serta kampret yang makan daun waru lantaran tak ada buah dan serangga. Sebenarnya, “kelelawar” adalah nama umum untuk ordo Chiroptera yang di tanah air kita ada tiga.

Pertama kalong (Pteporus vampirus) yang paling besar dan makan buah-buahan, kedua codot (Pteporus edulis) yang lebih kecil dan juga makan buah-buahan, yang ketiga kampret (Microchiroptera) yang hanya makan serangga. Jadi kalau kampret ada di daun waru, itu untuk makan serangga entah semut entah apa dan bukan untuk mengganyang daun tersebut.

***

Untuk lebih menegaskan pada para pembaca bahwa penulis betul-betul akrab dengan lingkungan pedesaan, di hal 6 alinea II dan III diceritakan bagaimana caranya tanaman kapuk dan dadap menyebarkan jenisnya ke tempat yang jauh dengan bantuan angin. Tapi yang nampak justru kesan bahwa penulis kurang akrab dengan lingkungannya. Tentang pohon randu penulis menyebut bahwa setelah buah menghitam, lalu pecah dan isinya (kapuknya) berhamburan kena angin. Yang betul adalah, kalau baru berwarna hitam, kapuk dan randu itu belum pecah karena ini baru fase masak. Setelah kering dan berwarna cokelat, baru kulit tersebut pecah lalu jatuh. Nah, pada saat itu si kapuk telanjang demikian, matahari mengembangkannya lalu menghamburkannya kemana-mana, atau tidak ada angin. Itu tentang randu, sekarang tentang dadap. Ahmat Tohari hanya menyebut bahwa dadap memilih cara yang sama untuk penyebaran jenisnya, yakni dengan menggunakan kulit polongnya yang dapat terang seperti baling-baling. Padahal yang bisa demikian ini hanyalah dadap serep yang tidak berduri (Erythrina sumbummrans), dadap ayam atau dadap duri (Erythrinaorientalis) lain lagi sebab polongnya mirip buncis.
 
Sekarang ganti tentang singkong. Di halaman 7 alinea IV, penulis berusaha mendramatisir suasana. Tiga orang anak kecil tidak kuat mencabut singkong di tanah kapur yang kering membatu. Baru setelah dikencingi beramai-ramai maka singkong tersebut dapat dicabut. Sungguh fantastis. Orang Gunung Kidul serta Wonogiri pasti akan ketawa membaca kisah demikian. Tanah kapur itu senantiasa remah dan mudah hancur baik di musim penghujan maupun kemarau. Dan ingat, lapisan tanah subur di tanah kapur itu hanya terpendam dangkal sekali. Logikanya, mencabut singkong di tanah kapur sangat mudah. Lain halnya di tanah liat. Tanah jenis ini di musim kemarau memang keras dan membatu.

Sekarang pindah ke halaman 15 alinea I. Penulis menyebut bahwa karbohidrat yang terkandung dalam singkong kering itu telah banyak rusak hingga anak-anak tak cukup kalori. Karbohidrat dan kalori singkong kering itu justru tinggi. Kalau si singkong rusak atau sengaja dirusak (dibuat leye dan gatot) justru malah lebih mudah dicerna oleh mulut maupun perut. Lain halnya kalau Ahmad Tohari mau bicara soal gizi, yang bukan melulu menyangkut karbohidrat atau kalori tapi juga protein, lemak, vitamin dan mineral. Jangankan singkong kering, singkong segarpun kandungan lemak serta proteinnya sangat rendah yakni 0,45 dan 0,19%.

Lalu darimana orang-orang dukuh Paruk mendapatkan lemak protein, vitamin dan mineral? Tentunya dari tempe bonkrek yang digoreng dan sayuran. Tapi soal tempe bongkrek pun penulis telah membuat kesalahan yang cukup fatal. Di halaman 30 sampai dengan 39 penulis menceritakan adegan orang-orang yang sekarat karena keracunan tempe bongkrek. Yang dilukiskan oleh penulis, para korban tersebut (termasuk Santayib yang sengaja makan tempe buatannya sendiri), seperti mabuk alkohol. Nafas mereka memburu, mata mereka melotot dan sebagainya. Padahal salah satu akibat racun bongkrek adalah terhambatnya pembentukan Adenosine Triphosphat (ATP) yang setelah diubah menjadi Adenosine Diphosphat (ADP) akan menghasilkan enersi untuk gerakan otot dan lain-lain. Dengan terhambatnya pembentukan ADP, si korban cenderung seperti lumpuh, mata sulit dibuka (kelopak mata menggantung) dan juga sesak nafas. Kalau sekiranya Ahmad Tohari belum pernah menyaksikan sendiri bagaimana keadaan orang keracunan tempe bongkrek, tentunya dituntut untuk tanya sana-sini atau rajin membuka-buka referensi.

Masih tentang tempe bongkrek, di halaman 49 alinea I penulis membayangkan bagaimana orang-orang pandai ingin tahu tentang pengaruh racun bongkrek terhadap jantung, sel-sel otak serta bagaimana si racun membunuh sel-sel darah merah. Teka-teki bongkrek memang baru dapat dipecahkan dengan pasti tahun 1973 oleh Prof. Lijmbach dari negeri Belanda, tapi para ahli, di tahun terjadinya Ronggeng Dukuh Paruk tentu tidak pernah berpikir bahwa racun bongkrek itu kerjanya sama dengan kerja Plasmodium malaria.

***

Tema sentral novel ini ada di sekitar ronggreng atau tayub atau tledek. Tapi nampaknya penulis agak malas untuk sedikit bersusahpayah mencari informasi soal ronggeng. Saya tahu, pada saat Ahmad Tohari menulis novel ini (di atas tahun 80) Ronggeng memang sudah teramat jarang. Tapi di perpustakaan tentunya ada segudang informasi. Penulis tahu soal “bukak klambu” dan sebagainya tapi masalah calung dan lampu bisa salah. Di halaman 19 alinea II dan III penulis menyebut bahwa tali ijuk calung putus dimakan tikus dan ngengat tapi bubuk dan anai-anai (rayap) justru tidak makan bambunya. Setahu saya, di mana-mana tikus, ngengat dan rayap jauh lebih suka bambu daripada tali ijuk. Jadi logikanya, gamelan bambu tadi hancur karena tikus, ngengat, bubuk dan anai-anai, sementara tali ijuk masih utuh. Tapi entahlah. Barangkali tikus, ngengat dan rayap di dukuh Paruk punya gigi palsu dari baja, hingga kuat mengerat ijuk.

Kejanggalan tentang lampu saya dapatkan di halaman 20 alinea III. Untuk acara ronggeng, sebuah lampu tersebut dipasang cincin penerang. Begini ya, dulu, di abad-abad yang banyak ditulis, acara ronggeng selalu menggunakan penerangan obor. Setelah diketemukan lampu pompa (“petromak” dan “stromking”), acara-acara serupa tentu menggunakan jasa lampu tekan tersebut. Dukuh Paruk di tahun 50/60-an tersebut memang miskin. Tapi toh lampu-lampu semacam itu ada yang menyewakan dengan harga murah? Saya ingat, acara wayang, ketoprak dan lain-lain di dukuh yang paling udik sekalipun di tahun 1950-an selalu menggunakan lampu pompa sewaan. Lain halnya kalau kisah ini terjadi di Irian Jaya sana.

Lalu apa akibatnya kalau yang digunakan lampu minyak besar seperti yang dikemukakan oleh penulis? Pertama kurang terang, dan kedua akan mati-mati melulu. Dalam acara wayang di desa-desa, para bandar dadu atau penjual rokok memang lazim juga menggunakan lampu minyak tersebut, tapi hanya untuk menerangi dagangannya dan bukan areal ronggeng. Lagi pula, semprong lampu tersebut terlebih dahulu disambung dengan kertas sampai panjang agar si lampu tidak mati-mati melulu kena angin.

Tentang perangkat wayang orang serta ronggeng, penulis juga bingung. Meskipun ini terjadi di dunia anak-anak, tapi anak-anak desa di Jawa tentunya hafal betul mana itu badong (badongan) dan mana pula kuluk serta sumping. Badong itu memakainya di punggung seperti pada tokoh Gatotkaca, sementara kuluk itu memakainya di kepala karena kuluk itu memang topi. Yang laxim, daun bacang alias pakel alias Magnefera foetida itu hanya dibuat kuluk oleh anak-anak di Jawa, karena ukurannya yang kecil. Yang lazim dipakai untuk badongan adalah daun keluwih atau sukun (Artocarpus communis). Ini terdapat di halaman 10.

Bukan hanya soal ronggeng yang ada cacatnya. Bercerita soal perangkat desa atau pamong desa pun penulis kurang sempurna. Dalam novel ini penulis menyebut-nyebut adanya seorang kamitua. Padahal di Jawa, kamitua itu adalah kepala dukuh alias bekel yang mengepalai dukuh tempat kepala desa berdomisili. Kamitua yang statusnya selain sebagai kepala dukuh juga sebagai wakil kepala desa, yang lazim disebut “lurah” tapi sebenarnya salah. (Silahkan baca Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa). Jadi logikanya, dimana ada kamitua, disitu pasti ada kepala desa. Kalau tidak ada kepala desa, cukup ada kepala dukuh alias bekel. Tentu saja terbuka kemungkinan bahwa di suatu pedukuhan, ada kesalahkaprahan. Tapi seperti halnya kesalahan pada sebutan kepala desa yang di bebebrapa tempat dipanggil “lurah” maka bagi seorang penulis perlu dituntut untuk memberikan penjelasan pada pembaca atau menggunakan istilah yang betul saja.

***

Kejanggalan dan kesalahan ini masih terus berlanjut. Penulis berulangkali menekankan bahwa dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan miskin. Sampai-sampai, anak-anak makan dengan menggunakan daun pisang tiap hari. Ini terlalu ekstrim. Orang desa itu bisanya praktis. Tahun 50-an memang belum ada plastik termasuk piring plastik. Tapi toh sudah ada piring seng atau alumunium? Bagaimana kalau mereka tak kuat beli piring seng atau aluminium? Biasanya pakai layah atau cobek tanah atau tempurung kelapa. Daun pisang itu mahal dan bagi warga dukuh Paruk terlalu berharga untuk disobeki tiap hari. Mending dibawa ke pasar ditukar garam dan sabun.

Begitu miskinnya dan udiknya dukuh Paruk itu, kita maklumlah sudah. Tapi kenapa kalau di halman 30 penulis menceritakan tentang anak-anak yang makan pakai daun pisang, justru di halaman 43 penulis berkisah tentang bau bunga sedap malam. Padahal bunga sedap malam itu merupakan tanaman hias yang mahal asal dari Meksiko (Polianthes tuberosa). Masuk ke Jawa tentunya dibawa para orang bule pada zaman kolonial dulu dan hanya terbatas ditanam di rumah-rumah orang kaya di kota atau di kebun-kebun bunga di Bandungan, Kopeng atau Tawangmangu, paling tidak di Baturaden. Kenapa bisa nyelonong masuk ke dukuh Paruk? Masih sempatkah orang-orang dukuh Paruk keluyuran ke Baturaden atau Purwokerto untuk mencari bibit bunga sedap malam?

Selanjutnya di halaman 87, penulis juga menunjukkan ketidakakrabannya terhadap musim dan serangga. Dia menyebut : “Langit pekat meski hujan belum lagi turun. Selagi tanah basah, jengkerik dan gangsir malas berbunyi. Orong-orong menggantikannya”. Ini memang musim hujan, tetapi kalau ada kalimat : Hujan belum lagi turun lalu disambung selagi tanah basah tentunya kalimat jadi rancu. Lagipula, cengkerik dan gangsir itu bertelurnya memang di musim kemarau dan menetasnya di musim hujan. Jadi di awal musim hujan tersebut memang belum ada cengkerik serta gangsir yang dapat berbunyi karena sayapnya memang belum tumbuh. Yang tua-tua tentunya sudah habis. Juga, cengkerik dan gangsir itu berbunyinya memang jauh lebih malam daripada orong-orong yang mulai “ngentir” di saat maghrib. Soalnya rangsang untuk berbunyi itu datangnya dari perubahan suhu udara. Orong-orong sudah mau berbunyi dengan sedikit saja penurunan suhu udara, sementara untuk gangsir dan cengkerik harus cukup banyak penurunan suhu udara.

Di halaman 102 penulis menyebut ada kadal (bengkarung) yang nyelonong begitu saja lalu melahap capung yang lagi hinggap di tanah. Ada dua kejanggalan. Kadal tidak pernah mengejar mangsanya dengan tergesa-gesa dan capuing hidupnya dekat air serta tidak pernah hinggap langsung di tanah. Minimal hinggapnya di rumput. Jadi adegan kadal ini nampak sekedar tempelan. Logikanya, kalau Rasus, dan Srintil ada di kuburan yang banyak pohon-pohon besarnya, mereka itu kejatuhan tahi burung atau pantatnya digigit semut.

Barangkali puncak dari kecerobohan penulis adalah di halaman 51 dan 106. Di halaman 51 dia menyebut adanya semut “burangrang”. Semut burangrang itu tidak ada. Yang ada semut ngangrang (jawa), rangrang (sunda) atau kerengga (indonesia) yang nama ilmiahnya Oecophylla smaragdina. Lalu apa pula itu, burangrang? Itu nama gunung di kawasan Priangan (tinggi 2.064 m). Ini barangkali masih kalah dengan di halaman 106. Penulis menyebut di sore hari (menjelang maghrib) ada bianglala di langit barat. Mestinya kan di timur? Ini menurut Pak Guru SD.

***

Masih banyak memang kejanggalan-kejanggalan yang saya temukan tapi tentunya tak dapat semuanya dibahas di sini. Sebab kalau semuanya dibahas, bahasan tersebut salah-salah akan jadi sebuah novel tersendiri. Tentu saja penulis punya hak untuk berdalih, bahwa ini karya sastra atau fiksi yang merupakan hasil imajinasi belaka. Jadi boleh tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalih tersebut tentunya sah apabila penulis, seperti telah saya sebut di atas, memang sengaja membuat kejanggalan dan kesalahan demi efek humor, satir, surealis atau absurd. Pada karya yang realis, ketelitian dan ketepatan data mutlak perlu. Hemingway adalah contoh yang paling mudah. The Old Man and The Sea sungguh merupakan pameran latar yang bagus, menyatu, utuh dan juga tepat. Dia tentu tak hanya sekedar berimajinasi atau sesekali ikut mancing tapi pasti mengadakan riset lama. Ini terbukti dari pelukisannya yang sungguh sangat natural tentang seluk beluk kehidupan pemancing di laut.

Tapi tentu saja Ahmad Tohari tak harus berkecil hati meskipun di masa mendatang lebih dituntut untuk berhati-hati. Anda tidak sendirian. Y.B. Mangunwijaya dengan Burung-burung Manyarnya yang banyak dipuji-puji bahkan memenangkan hadiah Asia Tenggara itu pun ternyata tak luput dari cacat fatal meski tidak banyak. Antara lain dia menyebut amben sebagai “panggung”. Padahal amben itu balai-balai (ranjang) yang terbuat dari bambu. Burung ketilang dia sebut makan wijen. Padahal burung ini bukan pemakan biji-bijian. Ketilang hanya makan buah-buahan dan serangga. Ada juga adegan membidikkan pelanting atau ketapel sambil memanjat pohon. Padahal itu sangat sulit untuk dilakukan. Yang paling fatal, Romo Mangun menyebut wijen sebagai butiran kecil semacam buah rumput. Yang betul wijen itu tumbuhan yang masuk famili biji-bijian dan bukan rumput-rumputan. Nampaknya Romo Mangun dalam hal ini telah bersusahpayah membuka Ensiklopedia Umum terbitan Yayasan Kanisius (1977). Tapi apa lacur, diskripsi tentang wijen dalam Ensiklopedia tersebut ternyata salah. Di situ wijen juga disebut sebagai rumput-rumputan. Memang, untuk menghasilkan karya yang prima, kita tidak hanya dituntut agar bersemangat menggebu-gebu tapi juga bersikap teliti dan mau bekerja keras. Sayang, sasterawan kita umumnya mau cepat melejit lalu hantam kromo begitu saja. ***
 

Sumber : Majalah Horison, Edisi Januari 1984

 

Kecongkakan Akademik
Dalam Kritik Sastra
Salam buat Pak Guru Biologi
Oleh : Ahmad Tohari

Novel saya Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), Gramedia 1982 mendapat kehormatan dibicarakan oleh banyak pengamat dan ahli sastra. Sebagai pemain alam yang bahkan sukar melakukan studi kepustakaan, pembicaraan para pengamat dan ahli sastra tersebut amat menguntungkan saya. Jadilah saya seorang petatar yang begitu ikhlas dan setia mendengarkan ceramah para penatar. Semua saya lakukan demi peningkatan pengetahuan saya di bidang sastra.

Sikap ini secara konsisten saya pertahankan juga ketika mambaca tulisan F. Rahardi (FR), “Cacat Latar yang Fatal” (Horison, Nomor 1 tahun 1984). Tetapi kemudian saya terkejut ketika membaca suara FR : “Sayang, sastrawan kita pada umumnya mau cepat melejit lalu hantem kromo begitu saja”.

Karena FR sedang membicarakan RDP, maka sayalah yang merasa paling terkena oleh pernyataan yang sangat tidak simpatik ini, sebuah pernyataan yang sama sekali tidak layak keluar dari seorang yang konon punya jabatan redaktur sebuah majalah yang berkeintelekan. Pernyataan itu bersahaja. Tetapi mengenai langsung hati seorang dusun – yang seperti demikian adanya – tak pernah bermaksud cepat melejit dan main hantam kromo dalam arti apa pun juga. Bahkan sebagai orang baru dalam penulisan novel, amit-amit, saya masih risi disebut orang sastrawan.

Baiklah. FR telah keluar garis obyektif dalam kritiknya terhadap RDP, dan inilah kecerobohannya yang paling besar bila diingat FR pun seorang penulis. Maka saya pun telah diundangnya untuk berbuat sesuatu yang saya sendiri tak suka; menanggapi sebuah kritik sastra yang seharusnya ditulis “kritik sastra”.

Tulisan FR tersebut sebetulnya telah dikirim ke Kompas 12 Oktober lalu sebagai surat pembaca. Kemudian saya dihubungi oleh Gramedia berkenaan dengan surat pembaca yang dikirim FR, agar saya menanggapinya. Ketika saya datang ke Gramedia, 3 November 1983 dengan surat tanggapan, ternyata FR telah mencabut suratnya sehari sebelumnya. Jadilah, draft surat pembaca yang sudah di ACC itu gagal muncul di Kompas.

Saya kecewa menghadapi sikap FR yang tidak konsisten ini. Padahal ketika itu saya ingin menyatakan rasa terimakasih karena FR mau menunjukkan beberapa kesalahan saya yang bersifat pasti. Bersamaan dengan itu saya mengajak FR berdialog tentang hal-hal yang menurut FR adalah “kejanggalan yang menyolok” tetapi menurut saya sama sekali tidak. Juga ingin saya buktikan bahwa seorang seperti FR masih bisa berfikir hitam-putih, linier, bahkan tercium bau kepongahan akademiknya.

Kini setelah sedikit dipermak, tulisan yang semula dikirim FR ke Kompas, muncul di Horison dengan jiwa subyektif yang lebih menyolok. Sudah saya akui bahwa dalam menulis RDP saya melakukan beberapa kesalahan, antara lain pernyataan saya bahwa krokot adalah jenis kaktus, bahwa kodok termasuk reptil dan bahwa dalam hal membunuh manusia racun bongkrek telah mematikan sel-sel darah merah. Saya tak bisa lain kecuali meminta maaf kepada Gramedia dan para pembaca atas kekhilafan ini. Saya sebut kekhilafan sebab pada dasarnya saya juga pernah belajar biologi meski hanya sampai taraf sekolah dasar.

Rasanya tak pernah diragukan lagi bahwa faktor kebenaran ilmiah merupakan bagian penting yang menopang kemantapan sebuah karya fiksi. Saya yang masih baru pun menyadari betul hal ini. Lalu mengapa seorang seperti saya masih juga melakukan kesalahan, jawabnya tak usah berbelit-belit : manusiawi! Selagi sebagai pihak yang melakukan salah bersedia memperbaiki diri, dan pihak yang menunjukkan kesalahan (dalam hal ini FR) bertindak dalam garis kewajaran, maka kebaikan akan diperoleh oleh semua pihak. Habis perkara.

Atau, taraf kesalahan tertentu memang menjadi relatif bila dilihat oleh berbagai pihak. Misalnya, dalam terjemahan Laki-laki Tua dan Laut, Sapardi Djoko Damono menulis “kura-kura” yang seharusnya “penyu”. Dan Romo Mangun menyubut wijen termasuk jenis rumput. Kedua-duanya adalah kesalahan. Dan seorang redaktur majalah pertanian boleh berhirup-pikuk dalam menaggapi kesalahan itu. Tetapi jangan salahkan awam dan tak usah ajak mereka berhura-hura. Sebab dalam hal fiksi bagaimana juga pesan sastralah yang terpenting, tanpa mengurangi kedudukan terhormat kebenaran ilmiah di dalamnya, dan tanpa mengingkari nilai ideal bahwa sebuah karya fiksi menjadi lebih baik bila tidak disertai kesalahan-kesalahan ilmiah.

Bukan  hanya FR seorang yang mengetahui kesalahan Sapardi atau Romo Mangun, melainkan juga seorang dusun seperti saya. Lalu salahkah saya bila saya tak tertarik buat meributkan kesalahan kedua penulis tenar itu karena perhatian saya lebih terpusat kepada keindahan pesan sastranya? Tidak! Sebab saya sadar betul yang sedang saya hadapi adalah buku sastra, bukan buku pelajaran biologi milik adik saya. Antara keduanya pasti ada jarak meski – seperti yang sudah saya katakan – faktor kebenaran ilmiah tidak boleh diabaikan begitu saja.

Saya merasa sama dengan FR dalam hal penghargaan terhadap kebenaran ilmiah. Bedanya, sebagai anak dusun saya langsung belajar terhadap alam, sementara FR lebih banyak berdiri di atas tumpukan referensi dengan sikap yang pongah pula. Kepongahan itu terbukti dari anggapannya bahwa apa saja yang terdapat di dalam buku teks merupakan kebenaran mutlak, tanpa kecuali. Terdapat kesan pula bahwa FR menganggap kebenaran buku teks sudah meliputi semua aspek biologi dengan hukum-hukumnya yang tegar dan lurus. Sementara itu seorang anak Dukuh Paruk masih tetap dalam fitrahnya, menganggap hukum-hukum alam tetap bersifat nisbi karena hanya Sang Pencipta Alamlah yang punya sifat mutlak. Masih ada lagi, FR menolak kebenaran yang tidak disebutkan dalam referensi meskipun kebenaran itu merupakan pengetahuan elementer bagi anak-anak dusun. Aneh, seorang yang bangga dengan “yang serba ilmiah” berwatak integris demikian, suatu watak tertutup yang tidak bisa disebut sebagai ciri fikiran orang yang maju. Contohnya, dengan gaya mencemooh FR menolak pernyataan saya bahwa ular hijau memakan burung (dalam suratnya kepada Kompas yang ditariknya kembali). Saya tahu alasan FR satu-satunya; dia tidak menemukan keterangan demikian di dalam buku teks. Dan sikap pongah ini hanya mungkin diubah bila FR meninggalkan menara gadingnya, meninggalkan textbook-thinking dan lebih banyak terjun ke lapangan. Saya berharap FR bukan hanya akan menjumpai ular hijau memakan burung malainkan juga kerbau yang “ngasin” makan tanah, tikus busuk (pemakan serangga) yang menangkap katak buat dimakannya, dan keblek (kelelawar yang “blak-blek” mengepakkan sayap di atas tanah halaman) yang mencari kepik tahi, tetapi pada akhirnya tahi kotok dimakannya juga. Nah, saya tidak tahu bagaimana sikap FR ketika membaca sajian King Features Syndicate yang pernah melalui The Ripley’s True Life Adventures membuat kesaksian burung tekukur (pemakan biji-bijian) namun pada saat-saat tertentu ikut nimbrung makan laron. Protes?

FR mengatakan dalam suratnya bahwa sulit bagi ular hijau buat menangkap seekor burung. Menurut alur pikiran demikian maka akan jauh lebih sulit bagi burung hantu buat menangkap ikan karena burung itu jelas bukan jenis unggas air dan kakinya tanpa sirip, tidak seperti itik. Biarlah FR dengan semangat buku teksnya. Tetapi bagi anak-anak dusun memang demikian adanya. Burung hantu bisa menyelam dan menangkap ikan. Kami suka mengikat paruh anak burung hantu agar jatah ikan yang diberikan induknya utuh, buat kami.

Apabila FR memustahilkan ular hijau makan burung, maka tentu saja dia begitu heran mendengar kelelawar makan daun waru. Begini. Apabila kemarau terlalu panjang maka populasi serangga mestinya merosot. Maka kelelawar menyimpang dari kebiasaannya dan makan dedaunan, dalam hal ini daun waru. Saya hanya bisa mengatakan itu fakta. Bahkan ketika di kampung kami dilakukan penyemprotan hama wereng dari udara, maka pada hari berikutnya bukan hanya daun waru yang dimangsa kelelawar, melainkan juga daun lembayung. Believe it or not, terserah kepada FR. Hanya saya yakin fakta penyimpangan itu tidak atau belum tercantum dalam buku-buku teks. Apabila sampai terjadi keterlambatan pencatatan fakta ilmiah semacam ini siapakah yang pantas dituduh teledor, anak dusun seperti Rasus ataukah seorang kutu buku seperti FR. Atau kalau saya bertanya mengapa ayam kampung sebagian besar menetaskan telurnya pada hari Jumat, apakah kira-kira FR bisa menemukan jawabnya dalam buku pelajaran biologi sekarang ini?

Kepongahan akademik FR tampak lagi ketika dia bicara soal burung alap-alap dan pipit. Dalam RDP saya tidak menulis alap-alap menyambar pipit dengan paruhnya, melainkan menggigit pipit dengan paruhnya. Bahwa sebelum menggigit mangsanya alap-alap itu lebih dulu menyambar dengan cakarnya, pasti benar. Tetapi apakah nalarnya buat menyalahkan pernyataan saya di atas? Atau kalau FR adalah anak Dukuh Paruk, maka akan sulit baginya menentukan jarak waktu antara menyambar dan menggigit itu. Hampir bersamaan! Betul alap-alap menyambar mangsanya dengan cakar. Tetapi pada detik yang hampir bersamaan paruhnya beraksi. Dan sesaat sebelum hinggap pada dahan, alap-alap harus memindahkan mangsanya dari cakar ke mulut. Kalau tidak, dia tidak akan bisa hinggap.

Sesuai dengan kemampuan RDP saya tulis pada taraf wawasan awam. Kala dua ekor bangkong sedang bergendongan di dalam air, kami yang awam akan mengatakan kedua binatang itu sedang kawin. Tentu saja bukan hanya FR yang tahu bahwa bangkong menempuh cara fertilisasi eksternal. Rasus pun tahu, meski dia hanya tamatan paket kejar. Masalahnya Rasus memperhitungkan bahwa kebanyakan pembaca adalah awam dalam biologi seperti dirinya sendiri. Lalu saya menulis : “Yang bersuara dengan selang waktu yang jarang adalah katak pohon”. Menurut logika FR maka tak ada katak dari species lain yang bersuara jarang atau lebih jarang. Aneh, siapa pula yang menyuruh FR berlogika demikian. Pernyataan saya di atas jelas tidak menutup pintu bagi pernyataan lain bahwa katak hijau, katak batu serta rana-rana lain juga bersuara jarang.

Dan fikiran linier FR muncul lagi beberapa kali. Saya katakan bahwa pohon dadap menyebar bijinya dengan kulit polong yang terbang berputar sebagai baling-baling. Bahwa yang mempunyai ciri demikian adalah jenis dadap srep, memang. Tetapi haruskah saya menyertakan keterangan bahwa ada dadap lain yang tidak demikian? Kalau misalnya saya menulis kerbau berkulit kehitam-hitaman, haruskah saya juga menyertakan keterangan selanjutnya bahwa ada kerbau yang bule, bahkan belang? Menurut saya, sama sekali tidak perlu selama RDP adalah sebuah novel, bukan buku pelajaran biologi.

Sungguh membosankan mengikuti jalan fikiran FR. Tetapi saya memang ingin membuktikan bahwa sikap yang terlalu bersemangat hampir selalu membuat orang meninggalkan kewajaran. FR mempersoalkan kalimat saya : “Langit pekat meski hujan belum turun. Selagi tanah basah jangkrik dan gangsir malas berbunyi”. Hujan belum turun, kenapa tanah sudah basah? Begitu pikiran FR. Begitu hitam-putihnya jalan fikiran FR sehingga dia bertanya demikian. Menurut saya bisa terjadi bahkan banjir sepanjang hari meski pada hari yang sama tak ada jatuh hujan. Darimana banjir? Tentulah dari hujan yang jatuh pada periode waktu sebelumnya. Mana yang rancu, kalimat saya atau logika FR?

Soal lampu juga tak luput dari pengamatan FR yang super jeli. Silakan buka kembali RDP. Ketika saya melukiskan adegan Srintil menari dengan penerangan lampu bercincin, kelompok ronggeng belum resmi terbentuk. Baru kali pertama dicoba. Dalam situasi demikian yang justru masuk akal adalah aspek praktis. Buat penerangan misalnya, pakai saja lampu yang biasa dipasang pada ruang depan. Apa yang janggal dan apa pula yang aneh. Mau sewa lampu pompa? Lha, wong baru jajal-jajalan, Mas!

Gaplek. FR membayangkan singkong yang dikeringkan itu tersimpan rapi dalam suatu tempat di sebuah balai penelitian pasca panen. Di sana memang gaplek bisa berada dalam kondisi prima. Tetapi cobalah sekali-kali ke Gunung Kidul atau Wonogiri. FR tak mungkin bisa tertawa bila melihat kondisi penyimpanan gaplek cara tradisional. Ya dimakan ngengat, ya ditumbuhi jamur, ya lembap keadaannya. Dalam keadaan demikian pasti (saya ulang, pasti!) karbohidrat yang dikandungnya rusak. Rasanya pahit dan keasam-asaman. Silakan coba.

Kamitua. FR menafsirkan kata ini mutlak dalam kaitannya dengan UU nomor 5 tahun 1979. Salut buat dia yang pergi ke mana-man sambil mengepit buku. Dan saya memang tidak sejauh itu. Sekali lagi RDP memang ditulis atas dasar wawasan awam. Kamitua, menurut pengertian saya yang awam ini adalah figur yang dituakan dalam suatu kelompok atau urusan tertentu. Misalnya kamitua (sesepuh) trah Raharden adalah Bapak F. Rahardi, misalnya. Atau orang yang dituakan dalam kegiatan pembangunan sebuah mushallah bisa juga disebut kamitua proyek tersebut. Cacatkah pengertian saya ini? Menurut FR, tentu. Tetapi silakan tanya dulu mereka yang awam di kalangan awami. Dan anehnya justru pengertian kamitua menurut UU tersebut tidak saya temui di daerah Banyumas. Di sana hanya ada lurah (atau penatus), kemudian bau, carik, Polisi desa, kebayan, kayim. Kamitua? Tidak ada. Lalu kalau saya diminta FR untuk menyebut istilah yang betul, aturan mana yang mesti saya pakai? Tolonglah saya ini.

Di kampung saya, semut besar berwarna merah bernama burangrang, klangkrang, krangkrang, klangrang, dan masih ada beberapa nama lagi. Bila di tempat lain semut besar itu bernama lain pula, wajar. “Pare” di Jawa Tengah adalah sejenis buah sayuran yang pahir rasanya (eh, tolong sebut nama menurut binomium nomenklatur-nya). Tetapi “pare” di tanah Pasundan adalah “padi”. Gaplek di kampung saya adalah singkong kering. Tetapi di kampung lain, masih di Banyumas, gaplek adalah ampas kelapa (tepatnya, bungkil buatan pabrik). Kalau saya mau menyebut gejala perbedaan makna kata ini sebagai sebuah kecerobohan, apa kira-kira dalil yang bisa saya gunakan?

FR juga memustahilkan ada bianglala di barat pada sore hari. Memang begitulah rumus umumnya. Namun saya persilakan FR membuat percobaan sederhana. Pagi-pagi, semprotkan air dengan mulut ke arah timur. Jangan kaget bila gejala bianglala pun bakal tampak. Bingung? Mintalah keterangan seorang anak SD. Dia akan mengatakan bahwa sinar pantulan pun bisa juga menghasilkan gejala bianglala. Apa pula bila yang memantulkan cahaya matahari adalah segumpal awan.

Kalau saya akan menyebut sebuah naif terbesar bagi seorang ahli biologi (tanda kutip) seperti FR adalah pernyataannya bahwa capung tidak pernah hinggap di atas tanah. Bagaimana, ya. Inilah kepongahan seorang yang terlalu lama mendekam di menara gading yang beratap tempurung sambil tekun membaca buku-buku teks, tetapi tak sekali pun menoleh ke jendela. Baik. Saya akan berusaha percaya bahwa capung yang suka mengapung di udara itu tidak pernah hinggap di tanah. Untuk ini FR harus menunjukkan bukti yang lebih kuat daripada pengetahuan elementer kami : capung dari hampir semua jenisnya sering hinggap di tanah. Kami yakin, seyakin akan terbitnya matahari besok pagi!

Kadal memang merayap pelan-pelan ke arah mangsanya. Itu betul. Tetapi FR tidak akan bisa menjamin bahwa kadal akan berhasil menangkap mangsanya pada kesempatan pertama. Kalau terjadi demikian kadal akan terus mengejar capung atau belalang yang dilihatnya. Kadal juga akan berlari mengejar mangsa yang bergerak. Pokoknya soal kadal nyelonong mengejar capung, bagi siapa saja kecuali FR adalah perkara wajar, sungguh wajar. Justru takaran ini yang paling pantas dipakai oleh seorang penulis fiksi, bukan takaran para ahli tingkahlaku binatang.

Ironisnya FR sendiri membuat kesalahan yang (apa namanya) ketika menulis sebuah cerpen dalam majalah ini. Dia katakan ada kucing yang selalu menerkam burung merpati. Nanti dulu, Mas. Kucing jenis apa itu. Soalnya kucing di kampung saya kok tidak mau menerkam anak ayam, yang justru lebih gampang daripada menerkam merpati. Tetangga saya memelihara segudang merpati, kucing dan anjing sekaligus. Mereka ayem-ayem saja. Apakah kucing dalam cerpen FR itu telah makan obat perangsang? Atau kucing hutan yang kesasar. Memang dalam cerpen FR  dikatakan sang kucing sedang menyusui anak-anaknya, jadi biasanya lebih buas. Tetapi apakah tak ada mangsa lain kecuali merpati . . . melulu.

Masih tentang kucing tetapi di luar cerpen FR. Cobalah perhatikan kucing-kucing di kota-kota besar yang kurang bernafsu menerkam tikus lantaran banyak sisa makanan di bak-bak sampah. Malah saya melihat dengan mata kepala ada kucing tenang-tenang saja meskipun seekor tikus berlalu di dekatnya. Ini perlu saya kemukakan karena saya percaya bahwa dalam hidup ini selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan. Saya juga percaya, penyimpangan demikian menjadi unsur penting dalam perkembangan berbagai bentuk dan aspek hayati. Pada kenyataannya teori evolusi bermula dari penyimpangan hukum biologi.

Jerapah, misalnya. Ketika makanan masih cukup tersedia di permukaan tanah, lehernya biasa. Tetapi karena terjadi perubahan maka makanannya harus didapatnya dari pohon yang tinggi. Dia beradaptasi dan sebagai konsekuensinya, lehernya molor demikian panjang. Konon pula, homo sapiens pada mulanya pinthecus, kemudian berevolusi menjadi pinthecanthropus yang tidak erectus, seterusnya menjadi pinthecanthropus erectus. Persetan dengan ada-tidaknya the missing link toh banyak sekali orang percaya bahwa dari mamalia kelompok primata-lah akhirnya terjadi bentuk homo sapiens. Kita perhatikan, “pada awal cerita evolusi” pasti terjadi penyimpangan-penyimpangan norma biologi. Kalau demikian mengapa saya harus heran ada kelelawar melalap daun waru atau lembayung, atau tupai mengganyang si kaki seribu? Mengapa pula ada orang menganggap aneh ada bunga sedap malam tumbuh di Dukuh Paruk, apalagi bila diingat ronggeng di sana (sebelum Srintil tentunya) sering dibawa ke tempat plesiran seperti Baturaden dan kembali membawa kembang “elite” itu?

Akhirnya. Saya telah berkata kelewat banyak. Namun saya sesungguhnya hanya ingin berkata kepada FR, “Wajar-wajar sajalah”. RDP tentu saja bukan sebuah masterpiece. Membandingkannya dengan The Old Man And The Sea, rasanya terlalu ekstrem dan tidak adil. Sama tidak adilnya bila saya membandingkan FR dengan pengamat sastra yang mana pun juga. Saya sendiri sejak semula sadar akan banyaknya kekurangan pada RDP dan makin banyak kekurangan yang saya ketahui setelah membaca resensi dan kritik terhadap RDP. Menunjukkan kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam RDP selalu saya terima dengan tulus dan rasa terimakasih. Namun persoalannya menjadi sedikit bergeser kalau ada orang mengatakan saya mau cepat melejit lalu main hantam kromo begitu saja.

Boleh jadi FR hendak menulis lebih lanjut setelah membaca tulisan ini. Silakan. Tetapi dari pihak saya, cukup sekali ini saja. Terus terang saya tidak bernafsu untuk melakukan polemik. ***

Tinggarjaya, 20 Februari.’80
Sumber : Majalah Horison Edisi Maret 1984

 
Masih Sekitar Ronggeng Dukuh Paruk
Hantam Kromo Bikin Keqi
F. Rahardi

Seandainya saya hanya menulis yang wajar-wajar saja dalam Cacat Latar yang Fatal (Horison 1/1984) tanpa adanya embel-embel hantam kromo segala macam, maka Ahmad Tohari konon tidak akan begitu keqi. Begitulah kira-kira yang dapat saya tangkap dari tulisannya Kecongkakan Akademik dalam Kritik Sastra (Horison 3/1984). Syukur alhamdulillah, sebab pertanyaan saya yang konon meskipun bersahaja tapi sangat tidak simpatik tersebut saya tulis bukannya tanpa dasar.

Selain keqi terhadap istilah hantam kromo, Ahmad Tohari barangkali pula menyebut bahwasanya dia adalah orang dusun yang akrab dengan lingkungannya, sementara saya adalah seorang akademikus, guru biologi, kutu buku, jalan pikiran linier, berada di atas menara gading dan sebagainya. Itu salah besar.

Dalam tulisannya tersebut, Ahmad Tohari juga menyebut-nyebut bahwa saya tidak konsisten lantaran mencabut surat pembaca saya untuk Kompas. Justru dengan mencabut tulisan saya yang belum terlanjur dimuat tersebut, saya telah mengikuti aturan main yang baik dalam dunia tulis-menulis. Ceritanya begini. Seusai kirim surat pembaca tersebut, saya banyak bercerita kepada kawan-kawan perihal cacat latar dalam Ronggeng Dukuh Paruk, umumnya mereka menyuruh saya membeberkannya di Horison. Hilangnya soal ular hijau dalam artikel saya di Horison, bukannya lantaran saya tak berhasil menemukan referensinya di buku-buku. Saya tahu bahwa ular hijau memang tidak pernah makan burung dewasa yang sehat-walafiat sehabis kawin. Biasanya dia memang hanya makan anak burung, kodok atau kalau toh makan burung dewasa paling burung yang lagi sakit-sakitan. Kenapa? Karena burung dewasa yang sehat, sulit ditangkap.

Saya berkesimpulan bahwa tanggapan Ahmad Tohari terhadap tulisan saya, pada hakikatnya hanya lebih mempertegas bahwa dia sebenarnya sama sekali tidak akrab dengan permasalahan yang tengah dibicarakan. Saya sadar bahwa bila tanggapan tersebut saya uraikan lebih lanjut, maka yang ada kemudian bukannya ngomong-ngomong soal sastra tapi debat kusir tentang masalah biologi. Tapi apa boleh buat. Ronggeng Dukuh Paruk sudah terlanjur mengorbit dengan cap dagang Punya Latar Lingkungan Pedesaan yang memikat, ironisnya justru disitulah letak cacatnya.

Soal lampu Ahmad Tohari bilang, kan ini lagi coba-coba. Jadi lampunya juga seadanya. Saya tahu. Tapi masalahnya bukan itu. Lampu minyak dengan cincin penerang seperti yang dikemukakan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, kalanya ditaruh di luar ruangan untuk penerangan ronggeng itu kurang terang dan akan mati-mati melulu kena angin. Kalau saja Ahmad Tohari mengusai masalah ini karena mengaku sebagai anak dusun, tentu akan dijelaskan bahwa dalam acara tersebut lampu akan mati-mati terus kena angin atau untung tidak ada angin hingga lampunya selamat.

Ahmad Tohari juga menyebut saya tidak tahu soal capung, padahal justru sebaliknya. Capung itu tidak mau hinggap di tanah, karena binatang itu nalurinya tajam. Kalau dia hinggap di tanah, jarak pandangnya ke alam jadi sangat sempit. Akibatnya musuh-musuhnya akan lebih mudah mendekatinya untuk menyegap. Itulah sebabnya dia lebih senang hinggap di tempat yang agak ketinggian.

Masalah alap-alap yang saya sebutkan tidak pernah menangkap mangsanya dengan cakar juga dibantah oleh Ahmad Tohari. Katanya alap-alap sekaligus menangkap dengan cakar lalu mematuk. Begitu mau hinggap, mangsa yang masih ada di cakar tersebut buru-buru dipindahkan ke paruh sebab kalau tidak bagaimana elang mau hinggap? Begitulah pernyataan Ahmad Tohari. Waktu kecil dulu saya pernah mengejar elang yang menangkap anak ayam saya. Yang saya saksikan ya dengan cakar menerkamnya. Begitu hinggap di dahan, elang tersebut ya langsung hinggap begitu saja dengan cakar yang masih mencengkeram mangsanya. Dan sekarang, dalam acara tivi yang sering saya saksikan, burung elang yang menangkap mangsanya ya persis seperti yang pernah saya sebutkan tadi. Begitu pula dalam film-film, buku serta gambar-gambar yang saya saksikan kemudian. Jadi kalau elang di Dukuh Paruk menangkap pipit dengan paruh, ini memang istimewa demi efek dramatis. Boleh saja.

Ahmad Tohari telah keliru menafsirkan bahwasanya saya ini akademikus, mungkin tamatan IPB. Anggapan demikian timbul barangkali lantaran dia tahu bahwa saya kerja di majalah pertanian. Itulah sebabnya dia menganggap bahwa saya tidak tahu menahu soal singkong dan gaplek lantaran yang saya hadapi adalah singkong yang disimpan di laboratorium. Keliru mas. Saya pernah mengecap yang namanya leye, gogik, tiwul, gatot dan lain-lain dan tahu bagaimana proses pembuatannya. Leye itu singkong yang sengaha dibusukkan sampai hancur. Baunya jelas bukan main, rasanya juga tidak seenak beras Cianjur. Gatot itu singkong yang juga dibusukkan sampai hitam berjamur. Tapi semua tadi nilai kalorinya tetap tinggi. Kita ngomong soal kalori lo, bukannya gizi. Tapi Ahmad Tohari mengatakan bahwa singkong-singkong tersebut kalorinya rusak. Itu salah besar. Pertama, orang desa itu justru pintar menyimpan bahan makanan. Mereka biasa menaruh singkong kering mereka di para-para di atas tungku. Asap dan suhu panas dari tungku punya daya pengawet yang tinggi. Ini diketahui oleh orang desa. Jadi jangan anggap orang desa itu bodoh hingga membiarkan begitu saja singkong mereka hingga jadi rusak. Lagi pula, singkong yang rusak, baik oleh bakteri (leye, tapai), oleh jamur (gatot), atau serangga (gaplek), kalorinya tidak pernah rusak. Justru dengan rusaknya fisik singkong tersebut oleh bakteri, hamcur atau serangga, bahan makanan tersebut malah lebih mudah dicerna oleh perut manusia. Saya tahu bahwa sebenarnya Ahmad Tohari agak kebingungan dengan istilah karbohidrat, kalori dan gizi. Kenapa istilah-istilah itu disebut? Kan lebih enak dan lebih sederhana bilang bahwa orang-orang Dukuh Paruk itu kurang makan begitu saja?

Debat kusir soal biologi ini masih akan saya teruskan. Dadap srep dan dadap duri itu jumlahnya sama banyak. Malah di kampung-kampung tertentu, terutama yang berhawa panas, jumlah dadap duri jauh lebih banyak dibandingkan dengan dadap srep. Jadi membandingkan dadap dengan kerbau jelas keliru. Kerbau bulai (albino) atau belang (di Sulteng) itu memang sangat jarang. Jadi kalau ada orang menyebut kerbau, asosiasi kita warna bulunya pasti hitam tak pernah terlintas ke benak kita danya kerbau bulai meskipun di pembicara tak menyebutkannya. Tapi kalau disebut dadap, orang jawa pasti akan tanya : dadap apa? Dadap srep atau dadap duri? Pun membandingkan bianglala di langit dengan pelangi yang dibikin oleh anak-anak dengan cara menyemprotkan air melawan sinar matahari jelas tidak masuk akal. Pengetahuan Ahmad Tohari di bidang perpelangian ternyata juga masih rendah. Orang Jawa itu kenal 3 macam pelangi atau bianglala. Pertama kluwung yang merupakan tangganya para bidadari dan bentuknya melengkung setengah lingkaran. Kedua tejo yang merupakan pertanda turunnya semacam berkah atau keberuntungan, bentuknya cuma sepotong dan bisa berada di langit mana saja. Ketiga kalangan yang bentuknya melingkar 360 derajat dan mengelilingi matahari yang sedikit disaput awan pada waktu sekitar tengah hari. Itu semua dalam bahasa Indonesia disebut pelangi atau bianglala.

Ahmad Tohari mengakui bahwa burangrang dan kamitua adalah istilah di kampungnya atau istilah Dukuh Paruk. Mungkin pada waktu menulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari tidak pernah memikirkan bahwa novel tersebut bakal dibaca oleh bangsa Indonesia yang bahasa daerahnya macam-macam hingga tidak akan tahu istilah-istilah Khas Dukuh Paruk.

Soal bunga sedap malam Ahmad Tohari toh masih juga berkelit. Bukankah rombongan ronggeng sebelum srintil ada kemungkinan dipanggil sampai ke Baturaden lalu pulangnya bawa oleh-oleh bunga sedap malam itu tergolong bunga yang sulit perawatannya meskipun tak serumit gladiol atau krisan. Katanya Dukuh Paruk itu sudah lama tak punya ronggreng. Jadi datangnya bunga sedap malam ke Dukuh Paruk jelas sudah lama juga. Apakah orang-orang desa yang miskin seperti orang Dukuh Paruk itu masih sempat merawat bunga sedap malam hingga tetap dapat hidup lestari berbunga setelah sekian lama. Mungkin saja kalau orang Dukuh Paruk jauh lebih mementingkan keindahan bunga daripada perut. Mengenai soal kodok, Ahmad Tohari masih juga meragukan pengetahuan saya. Ketahuilah, bahwa waktu kecil saya paling gemar mencari kodok hijau di sawah. Waktu jadi guru SD saya juga sering tidur di hutan bersama para mandor serta pak polisi hutan yang saya tempati. Jadi saya hafal suara kodok hijau dan katak pohon. Lebih-lebih setelah di Jakarta saya banyak belajar soal perkodokan gara-gara ada order untuk menulis buku mengenai beternak kodok. Untuk itu saya bukan hanya nongkrong di perpustakaan seperti yang diduga Ahmad Tohari, tapi keluyuran ke tempat-tempat orang beternak kodok, ke rawa-rawa, sungai yang banyak kodok batunya, ke Lembaga Biologi Nasional/LIPI, ke Museum Zoologi dan sebagainya. Dan alhamdulillah, buku saya soal kodok yang sudah cetakan ke empat itu toh belum juga dibantah orang.

Sebenarnya masalahnya sangat sederhana. Ronggeng Dukuh Paruk tetap saya anggap sebagai novel yang cukup baik dan menarik. Ada tiga masalah sentral yang menonjol dalam novel tersebut. Ronggeng, Permasalahan di Dukuh Paruk dan Lingkungan pedesaan berikut flora serta faunanya. Sebagai seorang pemula, Ahmad Tohari sudah cukup menguasi teknik-teknik dasar menulis prosa, baik penokohan, alur, maupun latar. Sayangnya, keterampilan tersebut tidak diimbangi dengan ketelitian atau kejelian untuk mengamati lingkungan. Saya memang tahu bahwa latar novel tersebut memang ada di kawasan desa kelahiran serta tempat tinggal sang penulis setelah “mudik” dari Jakarta. Tapi hanya itu saja belumlah cukup untuk bekal melukiskan sebuah latar yang dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat. Seorang sastrawan selalu dituntut untuk peka terhadap lingkungan tempat tinggalnya.

Dalam hal ini sebenarnya yang bersikap sok ilmiah bukannya saya dengan tulisan saya terdahulu, tapi justru Ahmad Tohari sendiri. Novelis yang baik justru hanya akan menceritakan apa yang dilihat, didengar dan dihayati di sekitarnya sesuai dengan persepsinya sebagai seorang pengarang.

Tentang kritik Ahmad Tohari terhadap cerpan saya Kucing dan Burung yang pernah dimuat di Horison tahun lalu, saya tak perlu mengomentari atau membela diri. Silahkan!***

Sumber : Majalah Horison, Mei 1984

10 Komentar

  1. echa said,

    saya seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di NTB. saya suka membaca namun kemampuan saya dalam menulis masilah amat kurang pun pengetahuan tentangnya. kepada pak FR : saya penyuka sastra jadi saya anggap pak AT dalm menulis RDP rasanya hal2 yabg dianggap fatal oleh bapak tidaklah demikian fatal karena menurut saya sastra adalah kebebasan kita dalam berkarya. tetapi apa yang anda tuliskan bisa menjadi referensi yang sangat baik untuk seorang penulis apalagi pemula. saya juga ingin menyampaikan bahwa saat saya kecil saya tinggal di Dili, Timor Loro Sae, dan seringkali bermain bersama capung,dan mereka suka hinggap di tanah. terimakasih pak FR, saya harap anda tdk merasa tidak nyaman atas komentar saya.

  2. Kang Cecep said,

    ha-ha-ha-ha… FR… FR… FR menjijikkan!

  3. warm said,

    mas, membaca novel sambil mencari-cari kesalahan teknis macam di atas, cuma bisa bikin mumet, mungkin seperti kawan saya yg sibuk komentar pada film Spidermann yang katanya kok gitu sih, kok bisa gitu?

    iya sih, ada kesan yg ingin ditekankan kalau penulis tidak terlalu eksplore, tapi oh itu novel bikinan tahun berapa, mungkin saat dibuat tidaklah mudah mencari referensi spesies2 lengkap dgn bahasa latin, lagian ini sejatinya novel bukan ttg hirarki

    dan saya sebenarnya pun blm membaca novel itu, tapi ya novel tanpa bumbu semacam kencing di batu kapur itu, malah aneh mungkin

    demikianlah pak 😀

    • F. Rahardi said,

      Kritik ini ditulis tahun 1980an, dan dimuat di Majalah Horison, tak lama setelah novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDK) terbit. Kritik ini ditulis, karena RDK banyak dipuji-puji, justru bukan pada tokoh atau alurnya, melainkan pada latarnya.

      • suryo said,

        sampean belum pernah lihat capung hinggap diatas tanah? berarti memang pengalamannya masih sangat cethek. Dari hal ini saja saya meragukan keterangan lainnya meski berbau ilmiah……

  4. Topade Wisdom said,

    Pengalaman nyata sebagai anak dusun membuat saya lebih meyakini dengan yang disebut cacat oleh pak FR bagi saya justru kebenaran yang sehat wal afiat, ternyata memang banyak kejadian unik bahkan janggal oleh satwa yg belum tercatat dalam buku-buku biologi

  5. Bastian Hidayat said,

    Balasan anda terhadap surat kang Ahmad Tohari malah memperlihatkan kepongahan dan nafsu Anda utk menguliti ‘kebodohan’ kang AT mas. Kenapa? Esensi dari jawaban kang AT sebenarnya sudah sangat jelas: RDP ditulis dari sudut pandang keawaman. Tentu akan terlihat lebih kocak ketika tokoh Rasus dengan latar belakang yang jelas seperti apa, namun dengan lancar mengacukan pandangannya pada buku-buku akademik (yang seringkali memang ternegasikan oleh fakta di alam). Di luar itu? Bukankah Kang AT sudah akui khilafnya? 🙂

  6. cepy said,

    “RDP tentu saja bukan sebuah masterpiece. Membandingkannya dengan The Old Man And The Sea, rasanya terlalu ekstrem dan tidak adil,” tandas Ahmad Tohari.

    Eh, sekarang, 2013 RDP telah dicetak ulang berkali-kali, kemudian mendapat penghargaan dari segala pelosok dunia.
    Kritik nan pedas ternyata teramat berharga bagi seorang seniman rendah hati 🙂

    • didik said,

      saya setuju dengan mas cepy, “kritik nan pedas ternyata teramat berharga bagi seorang seniman rendah hati”

  7. Suparman Gnd said,

    nurani selalu herpihak pada yang tersakiti dan teraniaya ( seringkali bukan pada kebenaran sejati )
    polemik ini adalah pelajaran berharga: untuk generasi selanjutnya.

    Kalau saja dulu guru BI saya tidak menyuruh saya belajar sastra pada AT mungkin hari ini saya tidak menulis komentar ini. Pak F Rahardi juga harus ingat setiap manusia pasti pernah herbuat salah, termasuk Bapak!

    Capung di Banyumas namanya kinjeng ; kinjeng intik, kinjeng
    kebo, kinjeng maling. Yang tidak pernah hinggap di tanah itu kinjeng maling.

Tinggalkan komentar