“Koruptor” Dilarang Dibacakan di TIM

11/06/2012 at 15:56 (berita)

Jakarta, 22 Januari

Pembacaan sajak “Catatan Harian Sang Koruptor” oleh F. Rahardi, yang sedianya akan dilangsungkan hari Rabu malam ini di TIM, Jakarta, dibatalkan pihak yang berwajib. Pembatalan acara ini diterima panitia penyelenggara hari Selasa, sekitar jam 14.00 WIB, dan selanjutnya disampaikan kepada F. Rahardi, penyairnya.

F. Rahardi (36 tahun), ketika dihubungi “SH” Rabu pagi di Jakarta, menyatakan keprihatinannya atas pembatalan tersebut. Dia sendiri menganggap bahwa seluruh sajak yang hendak dibacakannya malam ini, tidak perlu dicurigai. “Kalau saya tidak merasa rugi. Yang dirugikan dalam hal ini terutama publik sastra. Termasuk masyarakat yang telah membeli tiket pertunjukan”, katanya.

Ditanya sampai kapan masa pembatalan, penyair ini menjawab “tidak tahu”. Sebab alasan pembatalan baca sajak itu juga tidak jelas sepenuhnya. Dia hanya mendapat laporan dari Hardi, salah seorang penyelenggara acara, yang menyebutkan bahwa acara pembacaan sajak “Catatan Harian Sang Koruptor” dibatalkan.

Sementara pihak yang berwajib, sebagaimana dikutip Rahardi, mengatakan, sajak-sajak tersebut sensitif terhadap kehidupan beragama. Tetapi Rahardi menjelaskan, sejumlah sajaknya itu sudah pernah dibacakan dalam acara Cakrawala Puisi 11 November 1985 lalu, juga di TIM, serta dihadiri beberapa teolog.

“Landasan estetik saya dalam sajak-sajak itu adalah bercanda. Sebagaimana dalam kebudayaan Jawa, saya menstimulir kehidupan punakawan, yang sering berpura-pura jadi raksasa, jadi penggede, atau juga jadi rakyat jelata. Dan si penyair di sini berperan sebagai koruptor, yang mengangkangi Tuhan-nya”, jelas F. Rahardi putra seorang penjahit dari Ambarawa, Jawa Tengah, mengomentari isi sajaknya.

Dengan pembatalan kali ini, berarti penyair yang satu ini sudah dua kali mendapat larangan berpentas. Yang pertama tahun 1983, ketika hendak mengusung sejumlah WTS (Wanita Tuna Susila) dalam pembacaan sajaknya berjudul “Soempah WTS”, di TIM. Pihak yang melarang kala itu adalah Ketua DKJ. Dan ia pun mengambil anak-anak Wanita dari Teater Adinda menggantikan peranan WTS yang dilarang.

Seperti disaksikan “SH” Selasa malam, sejumlah poster pembacaan sajak “Catatan Harian Sang Koruptor” di TIM telah ditempel dengan pemberitahuan pelarangan yang ditandatangani Humas TIM. Bagi masyarakat yang telah sempat membeli tiket pertunjukan, panitia bersedia mengembalikan uang pembelian. (TH/H-4)

Sumber : Dokumentasi Sastra HB. Jassin

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Pelarangan di Dua Kota

11/06/2012 at 15:49 (berita)

Kembali terjadi pelarangan pihak keamanan terhadap acara kesenian : satu di TIM, Jakarta, yang lain di Asdrafi, Yogya. Berbagai alasan tentang sebabnya dan pendapat orang-orang luar.

Dua acara kesenian batal di dua kota hari Rabu pekan silam. Di Jakarta Penyair F. Rahardi, 36, urung membacakan sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki, sedang di kompleks Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) Yogyakarta, Hari Pramuji, 25, gagal membacakan cerita pendek Langit Makin Mendung Ki Panji Kusmin dan Pemilihan Umum Harris Effendi Tahar. Bagi Rahardi pelarangan yang dialaminya itu bukan hal baru : di tahun 1984 acaranya di tempat yang sama  juga hampir batal – oleh niatnya membawa para pelacur ke TIM, yang tidak disetujui Dewan Kesenian Jakarta. Waktu itu sajak-sajak yang dibacakannya memang berjudul Soempah WTS.

Pekan silam, Rahardi seharusnya tampil dengan sajak-sajak dalam berkas berjudul Catatan Harian Sang Koruptor. Tapi pelarangan itu diputuskan yang berwajib bukan karena Rahardi berniat membawa sejumlah koruptor. Melainkan karena, antara lain, karya-karya Rahardi, menurut seorang perwira di Dinas Penerangan Kodam Jakarta, “mengarah pada mempersamakan Tuhan dengan pemerintah RI”. Tampaknya perwira ini membaca sajak berjudul Mosi Tak Percaya yang merupakan petisi para koruptor yang secara imajiner tentu, digambarkan sang penyair sebagai menuntut Tuhan untuk mengundurkan diri dari singgasananya “secara terhormat dan kesatria, sebelum khalayak ramai mendongkelnya beramai-ramai”.

Di kantor Laksusda Jakarta, wartawan Tempo Agus Bsri mendapat cerita lain. Seorang perwira menjelaskan bahwa sebenarnya yang terjadi bukan pelarangan, tapi penundaan. Soalnya, kumpulan sajak yang akan dibacakan itu mencapai kantor Laksusda cuma sehari sebelum acara TIM, dan para pejabat keamanan tidak lagi punya waktu untuk menanyai Rahardi. Kata perwira yang enggan disebutkan namanya itu. “Sebentar lagi Rahardi akan kami panggil untuk dimintai keterangan”.

Dan Togi, pejabat Hubungan Masyarakat TIM, di kantor Polda Metro Jaya mendapat keterangan : Laksusda menganggap sajak-sajak F. Rahardi “tidak berketuhanan”. Lalu, meski tidak sekeras Laksus, Pastor Drs. J. Hadiwikarta, 43, secara pribadi juga gusar dengan sajak-sajak Rahardi. Pejabat penting di kantor Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI) ini mengaku sangat tersinggung karena, misalnya, Rahardi menyebut Kristus “homoseks” dan “disundut pantatnya”. Namun, katanya, “Tapi mungkin dia itu tidak bermaksud menghina”.

Ternyata, Rahardi memang tidak bermaksud menghina – menurut pengakuannya kepada A. Luqman dari Tempo. Yang konon ingin dilakukan penyair yang beragama Katolik dan beranak tiga ini ialah mengubah gambaran tentang Tuhan yang kini dominan terutama di kalangan anak muda. Katanya, “Selama ini saya melihat konsepsi tentang Tuhan itu bagi anak muda terlalu dipaksakan, jadi tidak cocok lagi. Misalnya Tuhan selalu dianggap sakral, dipuja. Kita harus merevisi, meski tidak secara total. Sehingga kelihatan Tuhan itu akrab”.

Yang menarik, sajak-sajak yang dilarang itu sudah pernah sempat dibacakan di TIM tahun silam, dan … tidak dilarang Laksus. Tentu, itu karena publikasinya tidak sehebat yang sekarang. Menurut Abdul Hadi W.M., penyair dan pejabat kesenian di DKJ, judul kumpulan sajak itu memang mudah memancing perhatian pihak keamanan. Tapi, sebagaimana umumnya seniman, Abdul Hadi W.M. sangat tidak setuju pelarangan. “Serahkan saja kepada masyarakat, dan biarkan kritikus sastra mengarahkan masyarakat”.

Lain pula W.S. Rendra. Meski memuji bakat Rahardi, seniman yang baru diizinkan muncul kembali ini terus terang menolak penggambaran Tuhan dalam sajak-sajaknya. Kata penyair ini, “Saya tidak setuju puisi-puisinya yang menggambarkan Tuhan seenaknya. Di mana pun penggambaran tentang Tuhan yang seperti itu pasti ditolak”.

H.B. Jassin ternyata berbeda pendapat. Menurut Jassin, gambaran tentang Tuhan dalam sajak-sajak itu bukan gambaran Tuhan dalam diri penyair, melainkan dalam benak sang koruptor. Jassin menyayangkan pelarangan Laksus, sebab sebenarnya yang harus jadi sasaran ialah para koruptor. Bahkan Jassin cenderung berterimakasih kepada penyair yang lewat sajak-sajaknya mempelihatkan kepada kita cara berpikir para koruptor. Nah, “Kalau mau marah, marah sama koruptor, jangan sama penyairnya,” katanya. Lagi pula, di Indonesia ini, menurut Jassin, belum ada pertunjukan kesenian yang menyulut huru-hara. “Di Indonesia ini para pengarang tidak mengajak berontak. Mereka itu hanya sampai pada pelukisan secara artistik,” kata tokoh yang pernah mendapat hukuman percobaan dua tahun akibat keputusannya memuat cerita Ki Panji Kusmin di majalah Sastra yang dipimpinnya.

Ternyata, cerita Langit Makin Mendung itu masih tetap melahirkan cerita hampir 20 tahun kemudian. Di Yogyakarta, karena adanya dua cerita yang menurut rencana akan dibacakan, maka kurang jelas penilaian polisi terhadap Langit Makin Mendung di samping cerita lainnya. Pemilihan Umum. Tapi bisa diduga, pelarangan terutama didasarkan pada kenyataan bahwa karya pertama itu pernah menjadi heboh. Polisi Yogya sendiri mengemukakan alasan lain, seperti mereka jelaskan kepada Yuyuk Sugarman dari Tempo. Yakni pelarangan itu akibat tidak adanya permohonan izin dari penyelenggara. “Tentang materinya, naskahnya saja tidak dikirimkan ke polisi,” kata seorang perwira yang enggan menyebutkan namanya. Tapi di Semarang, Kepala Penerangan Polisi Jawa Tengah, Mayor Polisi Sriyono, S.H., menjelaskan pelarangan di Yogya itu disebabkan oleh isi cerita “yang bisa menuntun opini negatif”. Tidak dijelaskan cerita yang mana dan opini yang bagaimana. Tapi, kata Mayor Sriyono, “Kami khawatir massa terbakar semangatnya ke tindakan negatif”.

Menurut Sriyono, polisi tidak selalu melarang pementasan. “Asal karya yang dipentaskan tidak tendensius dan bersifat politik”. Kepada Yusro M.S. dari Tempo, perwira ini juga menjelaskan, polisi biasanya berkompromi dengan pihak penyelenggara dengan “mengubah kalimat yang dianggap rawan”. Kalau pihak yang satunya tidak sedia menerima perubahan? “Baca saja karya itu sendiri, di kamar,” katanya. Mayor Sriyono mengimbau para seniman untuk berkorban sedikit untuk ketenteraman dan ketertiban. Yang baik, menurut dia, “Adalah seni untuk masyarakat, bukan seni untuk seni”. Sebab, “Lebih penting ketertiban umum ketimbang popularitas seseorang”. (Salim Said/Laporan Biro Jakarta & Biro Yogya)

Sumber : Majalah Tempo, 1 Februari 1986)

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Kasus Baca Puisi “Sumpah WTS”

11/06/2012 at 15:35 (berita)

Hampir setiap hari kita baca di koran-koran tentang korupsi diberbagai Instansi pemerintah atau swasta di negeri ini, sehingga kita muak dibuatnya. Ada malah yang beranggapan bahwa pada instansi-instansi tersebut rata-rata mesti terjadi korupsi ataupun penyelewengan-penyelewengan keuangan yang meliputi jumlah sampai mencapai milyaran rupiah. Saking begitu banyak dan metanya korupsi dan penyelewengan di negeri kita ini, bahwa hal itu sudah membudaya dan sulit untuk diberantas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah koruptor di Indonesia jauh lebih banyak jika dibanding misalnya dengan pelacur, karena sampai saat ini belum terdengar adanya anggapan bahwa pelacuran sudah membudaya dikalangan wanita Indonesia. Sungguhpun demikian belum terbetik kabar ada penyair kita yang menampilkan seorang koruptor diforum pembacaan puisi untuk membacakan puisi tentang korupsi. Meskipun karya-karya sastra mengenai korupsi dan koruptor cukup banyak, baik dalam bentuk puisi, esei, novel, roman atau bentuk ungkapan-ungkapan lain seperti sindiran-sindiran dan protes-protes. Tetapi sampai saat ini belum pernah terjadi ada koruptor yang ditampilkan pada forum-forum seni secara kongkrit seperti apa yang baru-baru ini nyaris terjadi di Taman Ismail Marzuki ketika penyair F. Rahardi akan menampilkan beberapa pelacur untuk membacakan puisi-puisinya yang berjudul “Sumpah WTS” di Teater Arena Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Tetapi kemudian penampilan tersebut dibatalkan, karena tidak disetujui atau dilarang oleh pengurus harian DKJ dan Akademi Jakarta.

Apa yang sesungguhnya disebut “kebobolan” oleh pihak DKJ itu sebenarnya sudah beberapa kali terjadi, bukan baru kali ini. Misalnya pada acara penampilan tari ballet Farida Faisal beberapa tahun yang lalu yang menggambarkan gerak-gerik orang yang sedang melakukan salat secara Islam, tapi para penarinya mengenakan kostum yang transparan. Ketika itu penyair Taufik Ismail bangkit memprotes dan minta agar pertunjukan itu dihentikan karena bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian Farida Faisal menyadari kekhilafannya dan minta maaf.

Kebobolan yang lain, ialah ketika penyair Sutarji Calsoum Bachri membacakan sajak-sajaknya, juga di teater arena TIM sambil minum-minum Bir, sampai setengah mabok dan teler, hingga melakukan hal-hal yang dapat dinilai sebagai melanggar adat kesopanan, baik dalam gerakan-gerakannya ketika membaca sajak atau ketika ia berhajat kecil yang sempat disaksikan oleh publik, sehingga banyak menimbulkan protes dari sana-sini dan sangat merugikan nama baik DKJ sebagai suatu lembaga kesenian.

Beberapa waktu lalu kembali terjadi lagi “kebobolan” untuk yang kesekian kalinya. Semua itu pada gilirannya menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa cara kerja DKJ agak sembrono, tidak tertib dan acak-acakan sehingga bisa terjadi “kebobolan-kebobolan” sampai sekian kali. Selain itu mengingat TIM pada umumnya DKJ khususnya sebagai suatu pusat kesenian dan acara-acara yang ditampilkannya biasanya dianggap sebagai tolok-ukur untuk menilai sejauh mana mutu dari hasil karya seni para seniman mutakhir kita terutama, maka kejadian-kejadian serupa di atas mungkin akan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada para seniman dan karya-karya yang diciptakan mereka.

Alasan penyair F. Rahardi yang menyatakan bahwa para pelacur juga warga masyarakat yang berhak untuk ikut berperanserta dalam berbagai bidang kegiatan, termasuk kegiatan sastra adalah sama sekali tidak benar dan terlalu dicari-cari. Malahan bisa mengaburkan dan mengacaukan kedudukan wanita murahan dengan para ibu-ibu yang terhormat. Bagaimanapun pelacur adalah tetap pelacur. Mereka sekali-kali bukan wanita baik-baik. Mereka adalah perempuan-perempuan jalang. Mereka tidak dapat disamakan apalagi disejajarkan dengan wanita baik-baik. Kecuali jika mereka telah meninggalkan lembah gelap pelacuran dan kembali ke masyarakat dan hidup sebagai wanita baik-baik.

Sama halnya dengan para penjahat, sebelum mereka benar-benar bertobat dan kembali hidup sebagai orang baik di masyarakat mereka akan tetap disebut penjahat dan harus disingkirkan dari pergaulan baik-baik. Dan karena itulah mengapa mereka kehilangan hak-hak mereka sebagai warga masyarakat. Justru karena mereka menentang nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan merupakan sendi utama dalam kehidupan yang bersusila.

Pernah terjadi penyair Rendra menulis sajak tentang “Pelacur-pelacur Jakarta” yang isinya membela para pelacur, malahan menganjurkan mereka supaya berbaris berbondong-bondong, sambil mengibarkan kutang-kutang mereka berkeliling kota Jakarta dan menyuruh mereka menaikkan tarif-tarif mereka supaya para lelaki tidak mampu membayar dan akhirnya berzina dengan saudara sendiri.

Ini menurut saya adalah sajak yang paling nista dan celaka yang pernah diciptakan oleh seorang penyair di negeri ini. Seolah-olah akan menyamakan begitu saja antar pelacur-pelacur yang kotor itu dengan bidadari-bidadari yang suci.

Akhirnya perlu ditandaskan, bahwa sikap DKJ dan Akademi Jakarta yang menolak dan melarang pembacaan puisi oleh para pelacur diforum yang terhormat patut dihargai dan didukung sepenuhnya. Semoga DKJ selalu awas dan waspada terhadap hal-hal seperti itu, tidak akan kebobolan lagi seperti yang telah berkali-kali dialaminya selama ini. (Muhammad Ali)

Sumber : Jawa Pos, 25/9/1984

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Sumpah WTS, F. Rahardi dan Bayangan Sutardji

04/06/2012 at 14:18 (berita)

Oleh : Endang K. Sobirin

Kedengarannya agak aneh juga, kalau seorang penyair minta segera diadakan konperensi pers, sehubungan dengan diterbitkan kumpulan sajaknya? tapi ini hampir nyata. Seolah dia percaya betul bahwa dengan konperensi pers, statusnya sebagai penyair diakui publik. Itulah ulah F. Rahardi. Untunglah, Hamsad Rangkuti yang bertindak atas nama penerbit Puisi Indonesia tidak segera meluluskan permintaan itu. Walhasil, niat itupun gagal.

Bulan depan, usia F. Rahardi 34 tahun. Tepat 20 tahun pernah jadi kepala Sekolah Dasar disebuah desa Perbatasan Kabupaten Kendal dengan kabupaten Temanggung. Empat tahun kemudian, jabatan itu dilepaskan karena tak cocok menjadi pegawai negeri dan kini menjadi redaktur di sebuah majalah bukan sastra, tapi pertanian!

Sejak masih tinggal di pelosok desa, F. Rahardi sudah sering mengirimkan tulisannya ke berbagai media ibukota, termasuk majalah sastra Horison, Semangat dan Basis. Tahun ’80 pernah ada kumpulan puisinya yang sudah di ACC untuk diterbitkan, tapi malang ikut terjual bersama tumpukan koran bekas ketika resesi.

Dengan begitu Soempah WTS merupakan kumpulannya yang pertama yang “selamat” diterbitkan, memuat 40 buah sajak dengan berbagai tema, kata dan permasalahannya, namun masih tetap dalam satu jalur warna (bayangan) “penyair bir” Sutardji Calsum Bachri.

Empat puluh kumpulan puisi yang dibukukan karya F. Rahardi (selanjutnya disebut FR), apa yang dijadikan dasarnya untuk berpijak, nampaknya hampa dan kering. Protes, pamplet atau sanjungan, entah kepada siapa dan untuk siapa tak menemukan arahnya.

Kebebasan menggunakan kata yang tanpa arti, nampaknya sudah didahului oleh Sutardji, kalau tidak mau disebut sebagai epigon Sutardji. Kebebasan memaki pun agaknya bukan suara baru dalam sebuah sajak karena sudah didahului Rendra. Kebebasannya untuk meletakkan setiap suku kata pada kertas, merupakan ciri khas Sutardji, jadi kebebasan apa yang dihayalkan oleh FR? Nampaknya kehilangan identitas.

Keterlibatan binatang kadal, kuda, babi, monyet, anjing, tokek, kerbau, kambing, unta, tikus, burung, ikan, kebiri dan bangsa, dalam puisinya merupakan pertanda ingin diakuinya sebagai orang yang mengerti betul tentang sifat-sifat binatang. Tetapi kaitannya dengan suku kata yang lain, binatang yang ditulis FR nampaknya sekedar ingin mengumumkan kebebasannya dalam berkarya, ambil contoh : Impian satwa

mimpiku kuning
kata babi pada unta
mimpiku biru, selalu biru kata kera
terbata-bata
mimpiku seram, kata kadal
mimpiku selalu hot
aku selalu ketemu dia, kata kuda

Perumpamaan babi berkata dengan unta, secara logika tidak bisa dibenarkan. Di satu pihak babi hidup pada tanah becek dan kubangan, sementara unta senantiasa ada di padang pasir. Namun babi yang identik dengan kekafiran sedang unta menjadi perlambang Islam, pun tidak akan pernah terjadi. Seorang yang berbeda jenis dan sifatnya membicarakan mimpi pada orang lain juga berbeda ideologinya. Meski kemungkinan itu bisa saja terjadi, tetapi dalam sebuah puisi?

Rangkaian ini bukan lagi samar tapi sudah berbentuk absurd.

Penulisan kata cabul, seperti : pantat, anumu, kencing, berak, tai, haram-jadah, bunting dan beberapa lagi, pun ingin membuktikan bahwa penyair punya kebebasan dalam menuliskan kata-kata kotor.

Ini malah aib yang justru tanpa disadari oleh FR, di satu pihak orang bersuara dan tekad keras meng-Indonesiakan seluruh sektor termasuk bahasa, dipihak lain sebagai (yang ngaku) penyair malah memutar balikkan kata dari kaidah bahasa Indonesia yang baik. Lantas berbahasa Indonesia yang baik itu tanggungjawab siapa? Bayangkan, kalau penyair sudah mulai memporak-porandakannya.

Dalam rangkaian sajak itupun terdapat pengejawantahan kata-kata gaib yang mempersonifikasikan Tuhan, surga, neraka, dan beberapa lagi. Ini masalah lebih ekstrim, seolah FR mau mencari dasar berpijak ke wilayah edar kekuasaan Tuhan yang lain. Hebatnya, Tuhan yang diakuinya sebagai asal dari segala dan akan kembali padaNya jua. Tuhan juga disebut sebagai “langganan” WTS dan dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang bisa disebut, ambil contoh pada Soempah WTS :

satu
kami
bangsa
tempe
bersurga
satu
surga
dunia

dua
kami
bangsa
tahu
bergincu
batu
berbantal
pantat

tiga
kami
bangsa
tokek
bertarget
satu
menggaet
tuhan
jadi
langganan

Tragis, kalau Tuhan sudah dijadikan langganan WTS. Apalagi kalau FR masih kebingungan dan bertanya tentang kehamilan Santa Maria :

santa
maria
bundo
kandung
engkau mengandung
padahal
tak ada
laki-laki
yang babi
tak ada
sapi, kerbau
yang marmut
tikus terbius
kambing digiring
tak ada
cacing
tak ada maling
kenapa kau bunting?

Ada kecenderungan dari kreatifitas seorang penyair, melahirkan sebuah kata baru yang kemudian bisa dijadikan kata baku. Bahkan penyair pun bisa menjadi penemu-penemu kata baru yang indah untuk memperkaya khasanah perbahasaan yang sedang berkembang ini, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menerima dari berbagai sektor, termasuk dari penyair.

Kata-kata yang dijadikan ungkapan spontan oleh FR, merupakan kata dan ungkapan usang yang sudah terbiasa dan malah menjadi alergi bila diletakkan di atas dasar kaidah bahasa. Lantas pencarian apa pula yang sedang dilakukan oleh FR?

Untuk melahirkan seorang penyair berwawasan estetik luas dan dalam, membutuhkan waktu yang lama dan panjang. Sejak Chairil Anwar yang dinobatkan sebagai angkatan ’45 oleh HB Jassin, baru Sutardji yang dianggap sejajar dengannya, itu ditemukan sekitar tahun delapan puluhan.

Dengan bukti ini, seorang bisa saja dikatakan sejajar dengan Chairil Anwar atau Sutardji, namun selama Sutardji masih berkarya dan masih diakui, pengikut atau penyair bayangan itupun tak akan pernah diperhitungkan oleh orang lain. Betapapun, sebagai pengekor seorang penyair belum menemukan ke-jatidiri-annya. Hal ini harus disadari oleh FR, bahwa penemuan pribadi yang individualis tidak mungkin didapat dengan cara mengekor keberhasilan orang lain. ***

Sumber : Merdeka

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Kebosanan yang Asyik dari Hemingway

04/06/2012 at 14:06 (berita)

F. Rahardi

Laki-laki ayah dari tiga anak, kecil, berkacamata itu berkesan pendiam. Rambutnya yang nyeniman, membuat siapa pun akan menduganya masih bujangan. Tentu saja, ketika hal itu disampaikan, dia tertawa (senang), sambil berkomentar, ‘Awet muda, ya?’

Mas Rahardi, begitu biasanya dia dipanggil, memang seniman. Lahir 10 Juni 1950 di Ambarawa. Kelas dua SMA ia keluar, lalu jadi guru SD di Kendal, Jawa Tengah tahun 1967. Dan mulai menulis sajak. Tahun 1974 keluar dari pegawai negeri, lalu ke Jakarta. Tulisannya mulai dimuat di media massa. Tahun 1977 menjadi wartawan Majalah Pertanian Trubus, dan sekarang sudah menjabat wakil pemimpin redaksi di majalah tersebut.

Tahun 1983 terbit kumpulan sajaknya yang pertama, Sumpah WTS. Setahun kemudian ia merencanakan mengajak para WTS membaca sajak di Taman Ismail Marzuki (TIM), tapi dilarang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Setahun kemudian, kumpulan sajaknya yang kedua, Catatan Harian Sang Koruptor, terbit. Setahun kemudian, pembacaan sajaknya di TIM dilarang oleh yang berwajib. Tahun ini, 1990, dua kumpulan sajaknya, Silsilah Garong dan Tuyul, terbit. Ketika ditanya mengapa ia memilih judul-judul seperti itu untuk kumpulan sajaknya? “Biar laku di pasar!” jawabnya sambil tersenyum.

Tapi buru-buru ia membuat nota bene untuk pertanyaannya, bahwa dunia puisi itu aneh. “Yang senang baca puisi itu banyak tapi buku puisi nggak laku. Lihat saja Rendra. Bukunya, laku? Tapi coba kalau dia baca sajak, yang nonton penuhnya bukan main!” katanya, seraya menghisap cerutunya dalam-dalam.

Karena jabatan, di samping buku sastra dan budaya, buku pertanian juga menjadi salah satu buku yang harus dibacanya. Dan The Old Man and Sea karya Ernest Hemingway yang diterjemahkan Sapardi Djoko Damono dengan judul Lelaki Tua dan Laut disebut Rahardi sebagai salah satu buku bagus yang pernah dibacanya. “Buku itu dengan sangat bagus mengungkapkan kebosanan. Dua hal yang membuat buku itu menjadi bagus. Pertama, karena persoalan yang digarap memang sedang in, sehingga masyarakat lebih tanggap dan terbantu memahami sajian si pengarang.  Kedua, yang digarap hal yang istimewa, bahkan sangat sehari-hari, tapi mampu menggugah kesadaran”, katanya. (Yn/tm) ***

Sumber : Berita Buku No. 23, 1990

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

No poetic licence

04/06/2012 at 13:51 (berita)

Australia : Majalah Inside Indonesia No. 7 May 1986

The people’s culture

While most allention focusses on well-known figures such as Rendra and Pramoedya Ananta Toer, other Indonesian artists too face intimidation in their allempls to perform in public.

On 9 and 10 December 1985 Indonesia’s best known poet and dramatist W.S. Rendra performed in public for the first time since he was arrested after a poetry reading in April 1978. After his release several months later he was for bidden to perform in public and refused access to venues.

Rendra’s first public re-appearance was interpreted by some observers as the dawn of a new period of artistic liberalisation. The espectation proved false when he was re-arrested and held for 24 hours in January. While Rendra is one of the most prominent poets to face the such intimidation, other performers also are subject to government restrictions. There were at least two other actions against artistic performances in January which were reported in the Indonesian press.

Poetry reading stopped

In Jakarta the poet F. Rahardi was refused permission by the authorities to read a controversial new poetry anthology entitled ‘The Diary of a Corruptor’ (Catatan Harian Sang Koruptor). The performance was to be held at the nation’s primary cultural centre, Taman Ismail Marzuki (TIM), in Central Jakarta on 22 January. Ironically he had read the poems at TIM last year without publicity, public protest, or government action.

Various branches of the Indonesian security apparatus justified the ban in different ways. A spokesperson for the Information Section of the Jakarta Military Command (Kodam Jakarta) claimed that the ban was not because of the collection’s criticism of corruption, but rather because it ‘tended to liken God to the Indonesian government’. A police official implied that Rahardi, a Catholic, was producing atheistic poetry. In Indonesia, where one of the fundamental Five Principles of State Ideology (Pancasila) is Belief in God, atheism is regarded as akin to communism, a banned ideology.

One satirical poem in the collection, ‘Motion of No Confidence’ (Mosi Tak Percaya), features corruptors petitioning God to resign but Rahardi defends his satirical approach. He likens his role to that of the Punakawan or comical clown characters in the wayang performance who express their criticism in a manner which evokes laughter and fun.

H.B. Jassin, Indonesia’s leading literary critic and translator of the Islamic Holy Book, the Qur’an, defended Rahardi, saying that it is the corruptors who should be the targets of government investigation. ‘If you want to get angry, get angry at the corruptors, not the poets, he said.

Rahardi, an editor of the agricultural magazine Trubus, told a Sinar Harapan journalist he was surprised at the ban, since a previous reading last November at a gathering of theologians had evoked no unfavourable responses. The audience seemed to appreciate the comical humour in the poems. Rahardi says he is seeking to revitalise the concept of God in the minds of young people, to establish a more intimate relationship to the Almighty.

Authorities in the Jakarta Security Command (Laksusda Jakarta) contacted by Tempo magazine explained the action against Rahardi as saying euphemistically that it was not really a ‘ban’ but a ‘postponement’. They only received a copy of the anthology the day before the performance and had not had enough time to read and approve the material. That material for such public performances should be ‘cleared’ by the authorities in advance is unjustifiable in the opinion of some of the artists and human rights activists who regard it as an infringement of the right of free speech.

Rahardi had had difficulty obtaining permission to perform at TIM on a previous occasion when, in 1985, he intended to bring along a group of prostitutes to assist him in his performance of a poem, ‘The Prostitutes Pledge’ (Soempah WTS). The supervisory body of the cultural centre stepped in and the performance went ahead without the prostitutes.

Rahardi, aged 36, was born in Ambarawa, Central Java, the son of a tailor. At 20 he became head of a village primary school in Kendal, but letter left the government service to move to the capital.

Rather than silence the poet the Jakarta ban has stimulated sales of the anthology. Rahardi intends going ahead with plans to perform in Bandung and other cities. However, Jakarta has not been the only city where atistic performances have been restricted.

Yogyakarta bans short story readings

Also on 22 January Yogyakarta police banned a short story reading at the Yogyakarta Film and Drama Academy (Asdrafi). Students organising the performance were notified only three hours beforehand. Major Mudjiono of the police intelligence unit (Intelpam) told Hari Pramuji, a 25-year old student in the Theatre Institute in Yogyakarta who was to read the stories, that his failure to request permission for the performance had led to police stopping the event.

A police spokesperson contacted by Kompas newspaper claimed that, whereas student did not require permission for internal campus activities, in this instance because they advertised the performance and invited the public to attend, permission was necessary. Major Sriyono, head of the Police information section in Central Java, told Tempo magazine, that the police do not always ban such performances, ‘provided the work to be performed is not tendentious or political’. He explained that usually the police convince organisers to excise any offending material.

Authorities contacted by Sinar Harapan newspaper did not link the banning to the particular stories selected. Langit Makin Mendung (A Darkening Sky) by Kipanjikusmin and Pemilihan Umum (General Election) by Harris Effendi Thahar. Indeed Pemilihan Umum, a fable about elections in the animal kingdom, evoked no noticeable response when it was published in Horison literary magazine in June 1981.

However, Langit Makin Mendung had caused a furore when it was first published in the literary magazine Sastra in August 1968. Some Muslim groups felt it was sacreligious in its personification of God and its portrayal of the prophet Muhammad and the Angel Gabriel. The magazine’s editor H.B. Jassin was given one year’s suspended jail sentence for publishing the story, deemed offensive to Islam. During the course of the trial Jassin refused to reveak the true identity of the author Sudihartono, who wrote using a pseudonym Kipanjikusmin. An English translation and commentary by Christine Deakin has been published in Archipel magazine (Vol. 11, 1976, pp. 85-105).

While the religious references in the material to be presented at both the Jakarta and Yogyakarta performances may suggest that the government is concerned about a reaction from Muslim circles, there is no evidence that religious groups were worried. The government’s  reaction represents yet another constriction on the opportunities of individuals to speak out or perform in public. (Inside Indonesia PAGE 31)

Sources : Sinar Harapan 18 January 1986 and 26 January 1986, Kompas 23 January 1986, Tempo 1 February 1986.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Poetry reading by and for prostitutes

28/05/2012 at 15:29 (berita)

JAKARTA (JP) : Five prostitutes from various red-light districts in the city will read a poem by Floribertus Rahardi entitled Pledge of a Prostitute, at the Teater Tertutup in Taman Ismail Marzuki on July 30.

The poem which will be read by the invited guests is one of the poems in a book of collective pems by the author which was recently published.

Other poems by Rahardi will also be presented by a fellow poet Leon Augusta and by children of Teater Adinda.

Rahardi said that the prostitutes are given Rp 10.000 each for their participations in the poetry reading program.

The poet had a hard time in persuading the women to read his poem at the art center. He repeatedly visited the five prostitutes for chats while treating them to dinner, drinks and ciragettes to gain their confidence.

“They were also afraid of their pimps,” the poet said.

It does not take any special training to read out the poem, Rahardi said, all that they would have to do is to read it out just like any other pledge.

He emphatically rejected the idea that he is inviting the women just for a “cheap sensation” of his work. “This happens to be the promise of the prostitutes themselves,” he said.

He is in the opinion that when prostitutes are detained by the authorities and then sent to rehabilitation center, would only make the pimps procure more women from villages for prostitution.

Employment should be guaranteed for the women after they go to rehabilitation centers otherwise they would return to their former profession, Rahardi said. (Jakarta Post)

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

No poetry reading be prostitutes

28/05/2012 at 15:26 (berita)

The poetry reading by prostitutes scheduled for manday evening at Taman Ismail Marzuki was cancelled after the Jakarta Arts’ Council chairwoman protested.

The chairwoman, Toeti Herati, in a letter dated July 28, said that F. Rahardi, the sponsor, wanted to exploit prostitutes in literature by involbing them in the poetry reading. She added that the performance would also have a negative  psychological impact on the audience.

Inresponse to the chairwoman’s letter, Rahardi, in a letter which he read before the oudience that night, stated that he could not accept the chairwoman’s argument, and insisted that prostitutes had the same rights as anyone else.

He also confirmed thet he will ask for Rp 1.563.000 in compensation.

Pickpocket picked up

A pickpocket who was in the act of stealing from a bus passengers was nabbed by some senior high school students. (JP, 1/8/1984)

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Sajak-sajak F. Rahardi Mengundang Kontroversi

28/05/2012 at 15:24 (berita)

Mencuat kesederhanaan yang khas pada visi F. Rahardi dalam memandang kehidupan, pergolakan-pergolakan manusia, dan kesemestaan. Bahkan kegaiban keilahian pun, baginya, bisa sangat kasat mata, dan mengalami desakralisasi. Hilang suasana magis-mistis, kepekaan kontemplatif yang merumit.

Tegas sekali F. Rahardi mencanangkan visinya. Menulis puisi, baginya, sama halnya dengan berkomunikasi dengan sesamanya. Pengalaman puitik yang diraihnya pun tak muluk-muluk, lantaran dapat ditangkap siapa saja, kapan saja, di mana saja. Dalam memandang kehidupan, dia terkesan santai. Layak bila puisi-puisinya yang terkumpul dalam Catatan Harian Seorang Koruptor, Silsilah Garong dan Tuyul menampakkan kesederhanaan, kesantaian, dan kenaifan bahasa puitik yang komunikatif.

Dalam pengamatan saya, F. Rahardi menjadi kontroversial lantaran kesederhanaannya dalam menangkap kehidupan, dan membebaskannya lewat puisi yang mudah dipahami. Menulis puisi bukanlah merupakan sesuatu yang dahsyat, atau semulia empu yang mesti bertapa, melainkan sebagai proses kreatif yang benar-benar manusiawi.

Dengan memanfaatkan ragam bahasa percakapan keseharian, F. Rahardi menyajikan puisi-puisi yang bisa bicara segala hal. Sudah semestinya kita menduga, penggunaan bahasa keseharian yang encer itu sengaja diciptakan untuk mencapai pemahaman orang banyak. Lebih jauh, pemakaian bahasa keseharian itu telah membentuk arus kesadaran penciptaan puisi-puisinya, sebagai keseimbangan substansi tema yang diangkat dari sentuhan realitas keseharian.

Harus diakui, puisi-puisi F. Rahardi terasa komunikatif, gampang ditangkap maknanya, lantaran berbicara secara langsung kepada pembacanya. Kesadaran akan pergeseran persoalan zaman yang kian merumit belakangan ini telah membangkitkan obsesi F. Rahardi untuk mengembangkan tema-tema puisi yang digarapnya. Dia berbicara tentang persoalan kehidupan secara santai, dan memberikan sentuhan humor di dalamnya.

Kenaifan

Dapat dikatakan, kreativitas F. Rahardi mengisyaratkan pada pembebasan terhadap mitos agung penciptaan puisi-puisi Chairil Anwar. Sebutlah, F. Rahardi sengaja melahirkan kontra mitos terhadap sikap dan visi kepenyairan si penyair binatang jalang. Di tangannya, puisi tak lebih cuma perpanjangan sastra lisan yang mentradisi, senapas dengan obrolan di warung, di gardu ronda, atau di saat nongkrong di mulut gang : bisa bicara apa saja, dengan bahasa keseharian, dan mencipta suasana kekonyolan yang akrab dan menggelitik.

Selaras benar bila F. Rahardi mengakui bahwa puisi itu bukan seni yang muluk-muluk, apalagi agung. Lalu, puisi pun senilai dengan kacang goreng dan topeng monyet. Orang boleh makan, nonton lalu melupakan.

Rupanya ia cenderung menampakkan persoalan keseharian yang memberangus nurani manusia; dan puisi-puisinya telah mengapungkannya tanpa memihak. Dia bisa bicara segala persoalan yang melibatkan manusia sekitarnya, seperti penuturan seorang bocah tak mengenal dosa, naif, polos, dan sesekali menikamkan kritik.

Puisi-puisinya lebih bersifat prosais dan bahkan terkesan berseloroh. Dia memiliki sudut pandang yang lain ketika menangkap realitas dan distorsi perilaku sosial budaya manusia. Ada kesan puisi-puisinya menjadi kenes, tetapi keterlibatannya dengan persoalan kehidupan menawarkan kegelisahan kita yang kian terasa menyesakkan.

Lewat puisi-puisinya, F. Rahardi bisa bicara apa saja : sesuatu peristiwa yang melibatkan kehidupan masyarakat luas; atau sesuatu peristiwa yang sangat personal; bahkan tentang krisis spiritual manusia. Ia terkesan ingin memudarkan kepekatan puisi yang biasanya sarat metafor dan simbol, dengan bahasa yang polos, dengan kekuatan sentilan-sentilan nakal. Dalam puisi-puisi yang mengungkapkan masalah personal manusia, dia masih menyusupkan gurauan-gurauan yang seringkali mengapungkan tokoh antagonis dalam masyarakat tanpa menghakimi. Eksistensi maling atau pelacur dalam puisi-puisinya bukanlah sosok manusia yang diadili atau layak memperoleh penghukuman, tetapi ditempatkan sebagai suatu bagian komunitas kehidupan yang memiliki pranatanya sendiri.

Betapapun F. Rahardi telah mengemas kehidupan dengan banyolan nakal, tapi kehendaknya untuk memberikan suatu gambaran kenyataan secara gamblang sebagaimana prosa, telah mengantarkan penjelasan makna-makna yang ingin dicapainya. Tak ada lagi penafsiran-penafsiran yang membuka pemahaman multidimensi. Rasanya dia telah mengambil peran terlalu banyak untuk menjadi juru bicara realitas yang mengepung di sekelilingnya.

Dunia Makna

Titik balik penciptaan puisi-puisi F. Rahardi telah melawan arus kesadaran penciptaan puisi pada masa-masa sebelumnya, terutama pada keagungan vitalitas daya cipta Chairil Anwar. Dapatkah ini dipandang sebagai kemerosotan? Dan karenanya, perlu dikembalikan lagi ke proses penciptaan puisi sebagai dunia makna?

Keagungan puisi, tentu bukan dipatokkan dari kesederhanaan pengalaman puitik penyairnya, kecairan bahasanya, dan keterlibatan yang nyinyir terhadap zamannya semata-mata. Diperlukan pula kemurnian bentuk dan pemikiran, kekhasan gaya ucap, dan keorisionalan.

Meskipun akhirnya puisi lahir dalam bahasa prosa, suasana naratif, dan bersentuhan langsung dengan batin pembacanya, tetapi toh tidak jatuh sebagai karya yang terkesan vulgar. Ingat puisi-puisi Rendra, Goenawan Mohamad, Subagio Satrowardoyo, dan Emha Ainun Nadjib? Terasa sekali bahasa prosa yang digunakan dan suasana naratif yang dibangun tidak memerosotkan puisi sebagai karya murahan. Malah sebaliknya, bahasa prosa dan suasana naratif itu membangun dunia makna yang tak habis sekali baca.

Berbeda halnya dengan puisi-puisi F. Rahardi yang tidak membekaskan makna yang mendalam, dan kering penafsiran. Usai membaca puisi-puisinya, kurang terusik batin dan kesadaran kita untuk memaknainya. Akan mudah bagi kita meninggalkan dan melupakannya. Hampir mirip obrolan di warung yang enak dan hangat, tetapi segera dilupakan setelah beralih suasana.

Layaknya puisi-puisi yang baik memang tak terlewat begitu saja dari kesan pemahaman pembacanya. Sekalipun memanfaatkan bahasa keseharian dan disisipi banyolan, puisi yang baik akan membentuk dunia baru yang sarat perenungan. Tak mudah terhapus dari kedalaman batin kita.

Eksistensi seorang penyair tentu bukan ditandai dengan kelugasannya semata. Namun, lebih mendasar lagi, adakah kreativitasnya sanggup melahirkan karya yang dapat mengatasi pergeseran masa?

Seyogianya, kita kini mengembalikan puisi sebagai dunia makna. (S. Prasetyo Utomo)

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Sosok F. Rahardi : Puisi Bisa Menumbangkan Kekuasaan, Asal . . .

22/05/2012 at 15:12 (berita)

F. Rahardi adalah salah satu seniman yang menganggap puisi adalah karya seni yang tak punya ‘kelebihan’ apa-apa dibandingkan seni-seni yang lain. “Puisi itu, sama dengan bakso atau singkong”, kata pria kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 10 Juni 1950.

Ia juga penyair yang tak pernah pusing dengan pelarangan-pelarangan kesenian, terutama pelarangan pembacaan sajak. Beberapa tahun lalu ketika ia dilarang membacakan puisi Sumpah WTS dan kemudian Catatan Harian Sang Koruptor, ia biasa-biasa saja. “Karena puisi itu dibacakan atau tidak tetap puisi. Maka, ketika Rendra dilarang baca sajak di TIM, kemudian mengadu ke DPR, itu cengeng namanya”, kata penyair pembela orang kecil ini, enteng.

Orang yang merambat dari bawah ini, kini telah sukses. Tamatan kelas II SMA yang pernah tujuh tahun menjadi guru SD di Gunung Ungaran ini, kini adalah Wakil Pemimpin Umum majalah TRUBUS. Dan, ia tetap produktif sebagai penyair. Kumpulan puisi terbaru Rahardi adalah Migrasi Para Kampret (1993). Ia juga merencanakan akan menerbitkan semacam buletin sastra, yang berisi informasi sastra dari seluruh Indonesia. Berikut petikan wawancara Media dengan Rahardi di kantornya, Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat, Jumat (3/6).

***

Belakangan ini ada gejala menarik, yakni pembacaan sajak pada setiap unjuk rasa atau demonstrasi. Sajak, seperti mengandung simbol pembangkangan atau perlawanan. Bagaimana menurut Anda.

Sebenarnya di Indonesia, sejak zaman purba, sajak itu sudah fungsional. Misalnya tembang, pantun, itu sangat fungsional. Di Jawa, misalnya, sajak itu dimanfaatkan oleh rakyat jelata sampai orang-orang keraton. Bahkan, kalau di Sumatera (Melayu), acara apa pun dengan pantun.

Jadi, kalau ada puisi pembangkangan, itu lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar puisi. Jadi, kalau Goenawan Mohamad ngomong puisi tidak mungkin bisa merobohkan pemerintahan. Ya, bedil juga sama juga tidak mungkin bisa merobohkan pemerintahan.

Masak . . .?

Ya, kalau tentara berontak, dan tidak didukung oleh rakyat, ulama, dan cendekiawan, itu tidak mungkin bisa. Indikasi lain, puisi juga bisa punya power sejauh memang ada figur yang kuat. Mengapa pemerintah takut dengan Rendra dan Emha Ainun Nadjib? Karena dua orang ini punya power, punya massa. Rendra sekarang mungkin tidak seperti dulu, tetapi Emha punya massa. Dan, jangan mengatakan, Emha punya massa karena juga berda’wah. Masyarakat tidak peduli. Jadi, bagaimanapun Emha adalah seorang penyair yang punya power dan pemerintah takut. Dia bisa menciptakan sajak untuk menggalang massa. Kalau ini dimanfaatkan, bukan mustahil bisa meruntuhkan kekuasaan.

Jadi, puisi memang punya fleksibelitas atau kelenturan?

Puisi itu kan merupakan suatu pancaran dari daya hidup manusia. Dan pasti punya power dan fleksibelitas. Jadi, kalau orang mengatakan, kreativitas dipasung, seperti Rendra dilarang baca sajak Rangkas Bitung di TIM, kemudian ngadu ke DPR itu cengeng. Kalau saya nggak boleh baca sajak, ora patheen (tidak ada pengaruhnya). Puisi tetap puisi. Memang ada puisi kamar, puisi auditorium, tetapi kekuatan puisi bukan berada di panggung, tetapi pada daya hidup karya itu sendiri.

Rendra kan aktor, jadi tampil di panggung menjadi penting?

Ya, itu memang. Jadi, tampil di panggung bagi Rendra itu penting sekali.

Puisi itu bagi Anda punya fungsi apa sebenarnya?

Bagi saya, sejak semula puisi itu sama dengan bakso, sama dengan baju, sama dengan masalah keseharian yang lain. Tentu saja, memang pada suatu ketika ada upacara pemakaman, misalnya, kemudian puisi itu dibacakan dan orang menangis semua, dalam keadaan seperti itu puisi memang menjadi sakral. Tetapi, bukan karena puisinya, tetapi karena situasinya. Sama dengan pertanyaan bisa nggak puisi untuk menumbangkan kekuasaan? Bisa sejauh didukung oleh yang lain. Jadi, tergantung pemanfaatan.

Jadi, Anda nggak percaya kalau ada yang beranggapan penyair itu sebagai penjaga moral?

Itu omong kosong.

Jadi kedudukan penyair tidak istimewa?
Sama saja dengan guru, tentara, petani atau juga tukang becak?

Sama persis. Tentu saja dibandingkan dengan tentara ada jenderal ada prajurit. Mungkin, penyair Indonesia, prajuritnya ada 2.000, kolonelnya 400, dan jenderalnya 10-20 orang. Ini lepas dari konteks puisi itu bagus apa jelek. Orang mengatakan, puisi Emha itu jelek. Tidak bisa, yang penting Emha menjadi figur penyair itu punya kekuatan. Sutardji memang lain lagi. Ia dianggap penting karena memang kekuatan sajaknya. Tetapi, pemerintah tidak takut dengan Sutardji. Orang dengar puisi Sutardji itu senang, manggut-manggut, ketawa-ketawa, tapi pemerintah tidak takut dengan penyairnya. Dan, menurut saya dua-duanya penyair-penyair kelas satu. Seperti juga Goenawan Mohamad. Ada orang bilang, ia besar karena wartawan, konglomerat, itu suara orang ngiri saja. Dia tetap penyair yang baik, yang punya power, dan kebetulan menjadi wartawan Tempo. Ini justru sangat mendukung sebagai penyair.

Jadi penyair dan bekerja itu nggak masalah?

Sekarang kalau ada orang yang beranggapan bahwa jadi penyair itu harus murni, tidak bekerja. Kalau Goenawan, Rendra, dan Emha, tidak murni. Sekarang saya tanya, penyair yang hanya sebagai penyair (mungkin yang kerja istrinya), apa puisinya lebih baik dari penyair yang kerja? Kok sajaknya Goenawan lebih bagus. Ini menandakan pekerjaan yang disandang oleh penyair itu nggak problem. Malah kalau Goenawan tidak bekerja, mungkin sajaknya jelek. Karena tidak punya pengalaman sekaya jadi wartawan.

Kalau Anda kemudian memilih bahasa pengucapan yang cair, linier, dalam puisi-puisinya, seperti sekarang, apa karena ada kebutuhan untuk berkomunikasi seluas mungkin, tidak seperti si Malin Kundang, terasing?

Ya. Ini karena pengaruh kewartawanan juga. Profesi kewartawanan kan menuntut harus menulis jelas, lugas, padat, tidak boleh ada ambiguitas. Dan itu berpengaruh pada puisi-puisi saya. Karena penyair yang jujur, pasti akan mengutarakan hal-hal yang memang keluar dari jiwanya. Sehingga pengaruh dari lingkungan itu pasti akan diserap, kemudian akan dipantulkan. Tetapi, proses peralihannya cukup lama. Baru akhir 80-an menemukan bentuk yang pas.

Komentar Anda terhadap penyair yang muda-muda sekarang ini.

Begini, penyair itu pertama harus punya otak cukup baik. Kedua, harus punya nyali/keberanian yang besar, dan ketiga harus punya kejujuran. Yang pertama ini memang agak kurang dimiliki dunia kepenyairan. Orang yang otaknya baik-baik dalam periode Orba ini bisa memakmurkan Indonesia lewat ekonomi. Daya tarik bisnis atau ekonomi itu luar biasa kuatnya, jadi putra-putri terbaiknya tersedot ke sana, sehingga politik dan juga sastra-budaya menjadi tidak sebanding dengan ekonomi.

Itu dari segi kecerdasan. Sekarang soal keberanian. Orang yang punya keberanian itu bisanya masuk tentara, atau mungkin juga bandit. Dan, yang terakhir, orang jujur ini makin susah.

Kemudian, kenapa penyair yang muda-muda sekarang tidak mencuat, karena mereka tidak punya kecerdasan, nyali kurang kuat, dan kejujuran masih langka. Selain itu, juga masih didominasi oleh penyair-penyair yang sudah mapan. Masih ada Goenawan, Rendra, Sapardi Djoko Damono, itu masih terlalu kuat. Masih hidup dan berkarya. Jadi, yang di bawah ini harus mempunyai power yang luar biasa untuk mendobrak atau paling tidak menyusup ke dalam. Harus punya kecerdasan, nyali, kejujuran yang lebih dari mereka. Kalau tidak, ya jangan mimpi. (Djadjat Sudradjat)

Sumber : Media Indonesia, 5 Juni 1994

 

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

« Previous page · Next page »